SIFAT UMRAH MENURUT ALQUR’AN, SUNNAH DAN ATSAR SALAF
بسم الله الرحمن الرحيم
Amalan umrah adalah; ihram, thowaf, sai’, halaq (cukur) dan tahallul.
IHRAM
1). Disukai bagi orang yang hendak berumrah untuk mandi (seperti  mandi Janabat) untuk ihram, walaupun ia seorang wanita yang sedang haidl  atau nifas.1
2). Kemudian ia memakai pakaian yang tidak berjahit, maka ia memakai  sarung dan selendang  atau semisalnya dan sendal yaitu semua yang  dipakai di atas dua kaki untuk menjaganya dari apa yang tidak menutup  mata kaki.2
Tidak boleh bagi pria memakai peci, sorban dan yang semisalnya dari  yang menutup kepala secara langsung. Juga tidak boleh memakai gamis  (kemeja), celana panjang kecuali tidak memperoleh sarung dan khuff  kecuali tidak mendapatkan sendal, dan khuff itu dipotong bagian atasnya  sehingga tidak menutupi mata kaki.3
Sedangkan untuk wanita, ia tidak boleh menanggalkan sesuatupun dari  pakaian yang disyariatkan hanyasaja ia tidak mengikatkan pada wajahnya  cadar (penutup wajah), sapu tangan dan tidak memakai kaos tangan.4 Tetapi ia boleh menutup wajahnya dengan sesuatu misalnya dengan khimar  atau jilbab yang dipakai di kepala dan melabuhkannya atas wajahnya dan  tetapi tidak boleh mengikatnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah  rahimahullah. 5
Hendaklah ia memakai baju ihram itu sebelum mikat, walaupun ia di  rumahnya sebagaimana yang dilakukan oleh Rosulullah -Shallallahu alaihi  wa sallam- dan para shahabatnya. Hal ini juga memudahkan bagi orang yang  menunaikan haji atau umrah dengan pesawat terbang, yang tidak  memungkinkan baginya mengenakan pakaian ihram ketika di mikat. Boleh  baginya naik ke pesawat terbang dengan pakaian ihram, tetapi ia tidak  berihram kecuali sebelum mikat sehingga mikat itu tidak luput baginya.6
3). Memakai wewangian dan harum-haruman di badannya dengan minyak  wangi apapun yang ia sukai, yang berbau harum dan tiada warna kecuali  wanita. Karena minyak wangi mereka adalah yang berwarna tetapi tidak  berbau harum. Dan ini semuanya sebelum meniatkan ihram ketika di mikat, dan adapun sesudahnya adalah haram. [7]
4). Apabila telah datang kepada miqatnya wajiblah baginya berihram.  Miqat itu ada lima; Dzulhulaifah, al-Juhfah, Qornul manazil, Yalamlam  dan Dzatu irqin. Dzulhulaifah adalah miqatnya penduduk Madinah. al-Juhfah adalah miqatnya penduduk Syam, Mesir dan daerah sebelah barat. Qornulmanazil adalah miqatnya penduduk Najed. Yalamlam adalah miqatnya penduduk Yaman. Dzatu irqin adalah miqatnya penduduk Irak.[8] Tidak ada sholat yang khusus bagi ihram, tetapi jika seseorang  mendapatkan sholat sebelum ihramnya maka ia sholat lalu melakukan ihram  di penghujung sholat, karena ada teladan pada Rosulullah -Shallallahu  alaihi wa sallam-  ketika Beliau ihram setelah sholat zhuhur. [9]Jika  miqat seseorang dari Dzulhulaifah disukai untuk sholat di tempat  tersebut bukan khusus untuk ihram tetapi kekhususan tempat dan  barokahnya. [10]
5). Kemudian menghadap kiblat dalam keadaan berdiri lalu bertalbiyah untuk umrah [11]dan  mengucapkan [12] :
  لَبَّيْكَ اللَّهُـمَّ عُمْرَةً , لَبَّيْكَ اللَّهُـمَّ  لَبَّيْكَ , لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ , إِنَّ الْحَمْدَ وَ  النِّعْمَةَ لَكَ وَ الْمُلْكَ , لاَ شَرِيْكَ لَكَ
Artinya, “Aku penuhi  panggilan-Mu Ya Allah ibadah umrah ini, aku penuhi panggilan-Mu Ya Allah  aku penuhi panggilan-Mu, aku penuhi panggilan-Mu tiada sekutu bagi-Mu  aku penuhi panggilan-Mu, sesungguhnya puji-pujian dan nikmat ini bagi-Mu  dan begitu pula kekuasaan, tiada sekutu bagi-Mu”.
Dan Ibnu ‘Umar radliyallahu anhuma menambahkan, [13]
لَبَّيْكَ وَ سَعْدَيْكَ وَ الْخَيْرُ بِيَدَيْكَ وَ الرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَ الْعَمَلُ
Artinya, “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, dan kebahagiaanku karena  panggilan-Mu, kebaikan ada pada kedua tangan-Mu, keinginan dan amalku  kepada-Mu”.
Diperintahkan bagi yang bertalbiyah untuk mengeraskan suaranya di  dalam talbiyah, sebagaimana telah datang dalilnya di dalam sabda Nabi  -Shallallahu alaihi wa sallam-, “Jibril –alaihis salam- telah datang  kepadaku lalu memerintahkanku untuk menyuruh para shahabatku dan  orang-orang yang bersamaku untuk mengeraskan suara dengan talbiyah”. [14]
Kaum wanita di dalam bertalbiyah sama seperti kaum pria karena  keumuman hadits, mereka mengeraskan suara selama tidak dikhawatirkan  fitnah, karena ‘Aisyah radliyalllahu anha mengeraskan suaranya sehingga  didengar oleh para pria. Berkata Abu ‘Athiyah, Aku pernah mendengar  ‘Aisyah berkata, “Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui bagaimana  talbiyahnya Rosulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, kemudian aku  mendengarnya bertalbiyah sesudah itu, “Labbaiyka allahumma labbaika”. [15] Berkata Qosim bin Muhammad, “Mu’awiyah pernah keluar menemui beberapa  orang pada suatu malam, lalu ia mendengar suara talbiyah. Ia bertanya,  “(suara talbiyah) siapakah itu?”. Dijawab, “(suara talbiyahnya) Aisyah  Ummu al-Mukminin yang sedang ber’umrah dari Tan’im”. Lalu diceritakan  yang demikian itu kepada ‘Aisyah, ia berkata, “Andaikata ia bertanya  kepadaku, niscaya akau akan mengkhabarkan kepadanya”. [16]
Hendaklah melazimkan talbiyah, karena talbiyah itu merupakan sebahagian syi’ar haji, [17] khususnya setiap kali menaiki tempat tinggi dan menuruni lembah.
Boleh mencampur talbiyah dengan talbiyah dan tahlil (ucapan Laa  ilaaha illallah), karena perkataan Ibnu ‘Abbas radliyalllahu anhuma,  “Aku keluar bersama Rosulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, maka  Beliau tidak meninggalkan talbiyah sehingga melempar jumrah aqobah  kecuali mencampurnya dengan talbiyah atau tahlil. [18]
Batas mengucapkan talbiyah adalah apabila telah mencapai tanah suci  Mekkah dan melihat rumah-rumah penduduk Mekkah, untuk mengerjakan  kesibukan yang lainnya.[19]
6). Barangsiapa yang memiliki kemudahan untuk mandi sebelum masuk (ke  dalam Masjid) maka hendaklah ia mandi dan hendaklah ia memasukinya pada  waktu siang hari lantaran menteladani Rosulullah -Shallallahu alaihi wa  sallam-. [20]
7). Hendaklah ia masuk dari dataran tinggi yang sekarang ini terdapat  pintu ma’lat (pintu tempat tinggi), karena Rosulullah -Shallallahu  alaihi wa sallam-  memasukinya dari bukit yang tinggi yaitu bukit Kada’  yang menonjol atas pekuburan (penduduk Mekkah),[21] dan memasuki Masjid (al-Haram) dari pintu Bani Syaibah (Babussalam),  karena pintu itu adalah jalan yang terdekat ke Hajar Aswad. Tetapi ia  juga boleh memasukinya dari arah jalan mana ia sukai karena sabda  Rosulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, “Semua fijaj (gang atau jalan  antara dua bukit) di Mekkah adalah jalan dan tempat menyembelih”. Dan  juga di dalam hadits yang lain, “Mekkah itu semuanya adalah jalan, masuk  dari arah sana dan keluar juga dari arah sana”. [22]
8). Apabila masuk ke dalam Masjid jangan lupa melangkahkan kaki kanan terlebih dahulu,[23] lalu membaca doa, [24]
اَللَّهُـمَّ صَلِّ عَلَى مَحَمَّدٍ وَ سَلِّمْ , اللَّهُـمَّ افْتَحْ لِى أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
atau:
أَعُوْذُ بِاللَّهِ الْعَظِيْمِ وَ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَ سُلْطَانِهِ الْقَدِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Artinya, “Ya Allah, sampaikanlah Sholawat dan salam kepada (Nabi) Muhammad, Ya Allah bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu”.
Atau: “Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, kepada wajah-Nya  yang mulis dan kepada kekuasaan-Nya yang terdahulu dari syaitan yang  terkutuk”.
9). Apabila telah melihat Ka’bah maka angkatlah kedua tangan -jika  mau- karena telah tsabit (tetap) dari Ibnu ‘Abbas radliyallhu anhuma. [25]
10). Tidak ada ketetapan doa yang khusus di sana dari Nabi  -Shallallahu alaihi wa sallam-, Lalu ia berdoa dengan apa yang mudah  baginya. Jika ia hendak berdoa dengan doanya ‘Umar bin al-Khaththab  radliyalllahu anhu maka hal tersebut adalah baik, karena telah tsabit  (tetap) doa tersebut darinya.[26] Doa tersebut adalah,
اَللَّهُـمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَ مِنْكَ السَّلاَمُ فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلاَمِ
Artinya, “Ya Allah Engkau Maha Sejahtera, dari-Mu kesejahteraan dan hidupkanlah kami dengan kesejahteraan, wahai Rabb kami”.
THOWAF
1). Kemudian ia bersegera menuju Hajar Aswad, menghadapnya lalu bertakbir (mengucapkan Allahu Akbar),[27] dan sebelumnya mengucapkan tasmiyah (mengucapkan “Bismillah”), hal ini telah shahih dari Ibnu ‘Umar secara mauquf. [28]
2). Kemudian mengusapnya dengan tangannya, menciumnya dengan mulutnya  dan sujud di atasnya. Karena telah melakukan perbuatan ini Rosulullah  -Shallallahu alaihi wa sallam-, ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radliyallahu  anhum. [29]
3). Jika tidak memungkinkan menciumnya hendaklah mengusapnya dengan  tangannya lalu mencium tangannya. Dan jika tidak memungkinkan  mengusapnya ia memberi isyarat kepadanya dengan tangannya. Hendaklah ia  melakukan perbuatan tersebut di setiap putaran (thowaf). [30]
4). Tidak boleh berdesak-desakkan lantaran sabda Nabi -Shallallahu  alaihi wa sallam-, “Wahai ‘Umar sesungguhnya engkau adalah pria yang  kuat maka janganlah engkau menyakiti yang lemah. Jika engkau ingin  mengusap Hajar Aswad, lalu apabila kosong maka usaplah, tetapi jika  tidak maka menghadaplah engkau kepadanya dan bertakbirlah”. [31]
5). Mengusap Hajar Aswad itu memiliki keutamaan yang besar, [32] karena sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, “Benar-benar Allah  akan membangkitkan Hajar (Aswad) pada hari kiamat dengan memiliki dua  mata yang ia melihat dengannya, lisan yang ia dapat berucap dengannya  dan bersaksi atas orang yang mengusapnya dengan hak (benar)”. [33] Katanya lagi, “Menyentuh Hajar Aswad dan Rukun Yamani itu menurunkan  dosa”. Katanya lagi, “Hajar Aswad adalah dari Surga, dahulu ia lebih  putih dari salju, sehingga dosa-dosa ahli syirik itu menghitamkannya”.
6). Kemudian memulai thowaf disekitar Ka’bah yang dijadikan di  sebelah kirinya. Ia berthowaf dari arah belakang Hajar (Aswad) sebanyak  tujuh putaran. Sedangkan dari Hajar Aswad kembali kepada Hajar Aswad  dihitung satu kali putaran. Ia beridlthiba’[34] padanya seluruhnya. Ia berjalan cepat pada tiga putaran yang pertama  dari Hajar Aswad kembali kepada Hajar Aswad, dan berjalan biasa pada  sisanya seluruhnya (empat kali putaran). [35]
7). Mengusap Rukun Yamani dengan tangannya di setiap putaran dan  tidak menciumnya, lalu jika tidak memungkinkan mengusapnya tidak  disyariatkan untuk memberi isyarat kepadanya dengan tangannya.[36]
8).  Lalu membaca di antara keduanya (di antara Hajar Aswad dan Rukun Yamani), [37]
رَبَّنَا ءَاتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِى اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya, “Wahai Rabb kami anugrahkanlah kepada kami kebaikan di  dunia, kebaikan di akhirat dan jagalah diri kami dari adzab Neraka”.
9). Tidak mengusap dua rukun Syam lantaran mengikuti Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. [38]
10). Hendaklah ia beriltizam di antara rukun dan pintu lalu meletakkan dada, wajah dan kedua hastanya di atasnya. [39]
11). Tidak boleh melakukan thowaf dalam keadaan telanjang dan haidl,  karena sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, “Tidak boleh thowaf di  Bait (Ka’bah) orang-orang yang telanjang”. Dan sabdanya kepada ‘Aisyah  ketika datang untuk berumrah di dalam haji wada’, “Kerjakan olehmu  seperti yang dilakukan oleh orang yang berhaji hanyasaja janganlah  engkau thowaf di Bait (yaitu Ka’bah) (dan janganlah engkau sholat)  sehingga engkau bersih”. [40]
12). Ketika selesai pada putaran ketujuh, ia menutup pundaknya yang sebelah kanan, dan pergi menuju maqom Ibrahim dan membaca, [41]
وَ اتَّخِذُوا مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلَّى
Artinya, “Dan jadikanlah maqom Ibrahim itu sebagai musholla (tempat sholat)”.[QS. al-Baqarah/ 2: 125]
13). Lalu menjadikan maqom tersebut ada di antara dirinya dan di antara Ka’bah, dan sholat di sisinya sebanyak dua rakaat. [42] Membaca pada kedua surat tersebut, pada rakaat pertama membaca surat [قل يا أيها الكافرون]  dan rakaat kedua membaca[قل هو الله أحد] .
14). Sepatutnya ia tidak lewat di hadapan orang yang sedang sholat di  sana, dan juga tidak membiarkan seorangpun yang lewat di hadapannya  dalam keadaan sedang sholat. Karena keumuman hadits-hadits larangan dari  yang demikian itu. Tidak tsabit (tetap) adanya pengecualian di Masjid  Haram, bahkan Mekkah seluruhnya.[43]
15). Lalu apabila telah selesai sholat ia menuju Zamzam dan minum darinya serta menuangkannya di atas kepalanya. [44]
16). Kemudian ia kembali ke Hajar Aswad, bertakbir dan mengusapnya sebagaimana rincian yang telah berlalu.[45]
SA’I
1). Kemudian ia kembali untuk bersa’i di antara shofa dan Marwah. [46] Lalu apabila ia telah dekat dari Shofa ia membaca firman Allah ta’aala,
إِنَّ الصَّفَا وَ اْلمـــَرْوَةَ مِن شَعَـائِرِ اللهِ  فَمَنْ حَجَّ اْلبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن  يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَ مَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللهَ شَاكِرٌ  عَلِيمٌ
Dan mengatakan,
نَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ
Artinya, “Sesungguhnya Shofa dan Marwah termasuk dari syi’ar-syi’ar  (agama) Allah, maka barangsiapa menunaikan haji atau umrah ke Baitullah  maka tiada dosa baginya untuk mengerjakan sai di antara keduanya. Dan  barangsiapa yang mengerjakan suatu kebaikan dengan kerelaan hati, maka  sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui”. [QS’  al-Baqarah/2: 158].
Dan mengatakan, “kami memulai dengan apa yang Allah mulai dengannya”.
2). Kemudian mulai dengan Shofa dan naik ke atasnya sehingga melihat Ka’bah. [47]
3). Lalu menghadap Kiblat, mentauhidkan Allah dan bertakbir, lalu mengucapkan[48]:
اَللَّهُ أَكْبَرُ  اللَّهُ أَكْبَرُ  اللَّهُ أَكْبَرُ , لاَ  إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ , لَهُ الْمُلْكُ وَ  لَهُ الْحَمْدُ  يُحْيِ وَ يُمِيْتُ  وَ هُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ,  لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ , أَنْجَزَ  وَعْدَهُ وَ نَصَرَ عَبْدَهُ وَ هَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ
Artinya, “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada  ilah selain Allah saja tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kekuasaan dan  bagi-Nya puji-pujian, Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan, dan Dia Maha  Kuasa atas segala sesuatu. Tiada ilah selain Allah saja tiada sekutu  bagi-Nya. Yang menyempurnakan janji-Nya, menolong hamba-Nya dan  Mengalahkan golongan-golongan (orang kafir) sendirian”.
Ia mengucapkan ini sebanyak tiga kali, dan berdoa di antaranya,  dengan doa-doa yang ia kehendaki tetapi yang lebih utama adalah yang  ma’tsur (ada atsarnya) dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-  atau  salaf ash-Shalih.
4). Kemudian turun  untuk melakukan sa’i (yaitu lari-lari kecil)  antara shofa dan Marwah. Karena Rosulullah -Shallallahu alaihi wa  sallam-  bersabda, “Bersa’ilah kalian, maka sesungguhnya Allah telah  mewajibkan sa’i atas kalian”. [49]
5). Lalu berjalan ke tanda-tanda  yang ada di sebelah kanan dan kiri, yang dikenal dengan “Mail Akhdlor” (lampu neon yang berwarna hijau). Lalu sa’i darinya dengan sungguh-sungguh sampai kepada tanda berikut sesudahnya. [50] Dahulu di masa Rosulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-  berupa lembah  kerikil yang terdapat banyak batu kerikil kecil. Kemudian berjalan  menanjak sehingga datang ke Marwah lalu naik ke atasnya. Lalu melakukan  padanya sebagaimana yang dilakukan di Shofa dari menghadap Kiblat,  bertakbir, mentauhidkan Allah dan berdo’a. Ini adalah satu putaran.[51]
6). Kemudian kembali sehingga naik ke atas Shofa, berjalan pada  tempat jalannya dan bersa’i pada tempat sa’inya. Ini adalah putaran  kedua.[52]
7). Kemudian kembali ke Marwah, begitulah seterusnya sehingga sempurna tujuh putaran, yang berakhir di Marwah.[53]
8). Boleh bersa’i di antara keduanya dengan berkendaraan, tetapi  berjalan lebih dikagumi  (disenangi)  oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa  sallam-. [54]
9). Jika berdoa di dalam sa’i dengan do’a berikut ini adalah tiada  mengapa, karena telah tasbit dari segenap para slaf ash-Shalih. Doanya  adalah sebagai berikut, [55]
رَبِّ اغْفِرْ وَ ارْحَمْ إِنَّكَ أَنْتَ اْلأَعَزُّ اْلأَكْرَمُ
Artinya, “Wahai Rabbku, ampunilah dan rahmatilah (diriku) sesungguhnya Engkau adalah Yang Maha Gagah lagi Maha Mulia”.
10). Apabila selesai dari putaran yang ke tujuh di atas Marwah, maka  mencukur rambut kepalanya sampai habis (botak) dan ini lebih utama atau  memendekkannya,[56] sedangkan kaum wanita cukup menggunting sebahagian atau beberapa helai rambutnya.[57] Dan dengan ini selesailah amalan-amalan ‘umrah dan bertahallul dari ihram.
Semoga bermanfaat bagi yang hendak menunaikan ibadah umrah. Wallahu a’lam.
[1]  HR Muslim: 1209, 1210 dan Abu Dawud: 1743, 1744 dari Ibnu Abbas.  Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahiih Sunan Abi Dawud:  1534 dan Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 10 nomor 1.
[2] Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 10 nomor 2.
[3]  HR al-Bukhoriy: 1543, Muslim: 1177, Abu Dawud: 1823, an-Nasaa’iy: II/  9, 10, at-Turmudziy, ad-Darimiy: II/ 31, 32, Ibnu Majah: 2929, Ahmad:  II/ 3, 4, 29, 32, 41, 54, 63, 65, 77, 119 dan selainnya dari Ibnu ‘Umar.  Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Manasik al-Hajj wa  al-‘Umrah halaman 10 nomor 3 dan 4 dan Irwa’ al-Ghalil: 1012.
[4]  Telah mengeluarkan hadits ini al-Bukhoriy, Muslim dan Abu Dawud: 1825,  1826 dari Ibnu ‘Umar. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat  Shahiih Abi Dawud: 1609, 1610, 1611 dan Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah  halaman 11.
[5]  Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 10-11.
[6] Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 11 nomor 4.
[7]  Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 11 nomor 5.
[8] HR al-Bukhoriy: 1524, 1525, 1526, 1528, 1529, 1530, 1531, 1845 dan  Muslim: 1181, 1182, Abu Dawud: 1738, an-Nasa`iy: II/ 6, 7, ad-Darimiy:  II/ 30, Ahmad: I/ 238, 249, 252, 332, 339 dari Ibnu ‘Abbas. Lihat Irwa`  al-Ghalil: 996 dan Manasik al-Hajj wa al’Umrah halaman 12-13 nomor 8.
[9]  Manaasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 14 nomor 11.
[10  HR al-Bukhoriy: 1534, 2337, 7343 dari ‘Umar bin al-Khoththob. Lihat Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 14 nomor 12.
[11]  HR al-Bukhoriy secara ta’liq dan al-Baihaqiy secara maushul dengan  sanad yang shahih. Lihat Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 14 nomor  13.
[12]  HR al-Bukhoriy: 1549, 1550, Muslim: 1184 dan Abu Dawud: 1812 dari Ibnu  ‘Umar dan ‘Aisyah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih. Lihat Irwa`  al-Ghalil: 1017, Shahiih Sunan Abi Dawud: 1597 dan Manasik al-Hajj wa  al-‘Umrah halaman 15 nomor 14.
[13]  HR al-Bukhoriy dan Muslim. Lihat Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 15 nomor 15.
[14] HR Abu Dawud: 1814 dari as-Saa’ib al-Anshoriy. Berkata asy-Syaikh  al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahiih Sunan Abi Dawud: 1599 dan Manasik  al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 15 nomor 16.
[15]  HR al-Bukhoriy: 1550 dan Ahmad: VI/ 32, 100, 180, 243. Lihat Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 16 nomor 17.
[16]  Telah mengeluarkan atsar ini Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih. Lihat Manasik al-Hajj wa al’Umrah halaman 16.
[17]  Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 830 dan Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 16-17 nomor 18.
[18] Telah mengeluarkan atsar ini Ahmad: I/ 417 dengan sanad yang baik, dan  telah menshahihkannya al-Hakim dan adz-Dzahabiy di dalam Manasik  al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 17 nomor 19.
[19]  HR al-Bukhoriy: 1573. Lihat Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 17  nomor 20. Sedangkan untuk ibadah haji selesainya sampai melempar jumroh  aqobah.
[20]  Atsar ini dikeluarkan oleh al-Bukhoriy: 1553, 1573 dan Abu Dawud: 1865  dari Ibnu ‘Umar. Lihat Shahiih Abi Dawud: 1641 dan Manasik al-Hajj wa  al-‘Umrah halaman 17-18 nomor 21.
[21]  HR al-Bukhoriy: 1575, 1576 dan Abu Dawud: 1866, 1868, 1869 dari Ibnu  ‘Umar. Lihat Shahiih Sunan Abi Dawud: 1642, 1643, 1645, 1646 dan  Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 18 nomor 22.
[22]  HR al-Faakihiy dengan sanad yang Hasan sebagaimana dikatakan oleh  asy-Syaikh al-Albaniy di dalam Manaasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 18  nomor 23.
[23] HR al-Hakim dan al-Baihaqiy dari Anas bin Malik,  berkata asy-Syaikh  al-Albaniy: Hasan, sebagaimana dikatakannya di dalam Silsilah  al-Ahadits ash-Shahihah: 2478.
[24]  Lihat Shahih Kalim ath-Thoyyib nomor 48, 49, 50 dan Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 18 nomor 24.
[25]  Telah mengeluarkan atsar ini Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang  shahih. Lihat Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 18 nomor 25.
[26]  Telah mengeluarkan atsar ini al-Baihaqiy dengan sanad yang hasan dari  Sa’id bin al-Musayyab, dan meriwayatkannya juga Ibnu Abi Syaibah. Lihat  Manaasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 19 nomor 26.
[27]  HR al-Bukhoriy: 1613, 1632 dari Ibnu ‘Abbas.
[28] Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 19 nomor 27.
[29]  Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 19 nomor 28 dan Irwaa’ al-Ghalill: 1112.
[30]  Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 19 nomor 29-31.
[31] HR asy-Syafi’iy dan Ahmad: I/ 28. Lihat Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 20 nomor 32.
[32]  Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 20 nomor 33.
[33]  HR at-Turmudziy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu hibban, dan al-Hakim.
[34]  Idlthiba’ adalah memasukkan selendang dari bawah ketiaknya yang kanan dan  menyelubungi ujungnya ke (pundak) sebelah kiri, menampakkan pundaknya  yang sebelah kanan dan menutupi yang sebelah kiri, idlthiba’ ini khusus  untuk kaum pria. Adapun sebelum dan sesudah thowaf ini adalah perbuatan  bid’ah. Lihat Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 20.
[35]  HR al-Bukhoriy: 1604, 1616, 1617. Lihat Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 20 nomor 34.
[36]  HR al-Bukhoriy: 1609. Lihat Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 21 nomor 35.
[37]  HR Abu Dawud. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 21 nomor 36.
[38] Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 21 nomor 37.
[39]  Iltizam adalah menempelkan wajah, dada, hasta, tangan, dan perut ke Ka’bah.  Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 22 nomor 38 dan Silsilah  al-Ahadits ash-Shahihah: 2138.
[40]  HR al-Bukhoriy: 1650. Lihat Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 22-23 nomor 40.
[41]  Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 23 nomor 41.
[42]  HR al-Bukhoriy: 1627, 1645 dari Ibnu ‘Umar dan Muslim 1218 dari Jabir  bin Abdullah . Lihat Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman23 nomor 42-43  dan Irwaa’ al-Ghaliil: 1017.
[43]  Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 23 nomor 44.
[44] Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 23-24 nomor 45.
[45] Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 24 nomor 46.
[46]  Lihat Irwa’ al-Ghalil: 1017 dan Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 24 nomor 47.
[47]  Melihat Ka’bah sekarang ini tidaklah mudah kecuali di beberapa bagian  tempat dari Shofa, ia dapat melihatnya dari celah-celah tiang yang di  bangun pada tingkat kedua dari Masjid. Maka barangsiapa yang ada  kemudahan melihatnya maka sungguh-sungguh ia telah melakukan sunnah  tetapi jika tidak maka bersungguh-sungguhlah dan tidak apa-apa. Lihat  Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 24 nomor 48.
[48]  Lihat Irwa’ al-Ghalil: 1017 dan Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 24-25 nomor 49.
[49]  HR Ahmad: VI/ 421 dari Habibah binti Taj’arah. Berkata asy-Syaikh  al-Albani: Shahih. Lihat Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 25 nomor  50 dan Irwaa’ al-Ghaliil: 1072.
[50]  Berkata Ibnu Qudamah al-Muqoddisiy, “thowaf dan sa’inya kaum wanita  adalah berjalan semuanya”. Berkata Ibnu al-Mundzir, “Ahli ilmu berijmak  bahwasanya tiada lari-lari kecil bagi wanita di sekitar Baitullah”,  tidak pula di antara Shofa dan Marwah dan tidak pula beridlthiba’ atas  mereka… dan seterusnya”. Lihat Manasik al-Hajj wal-‘Umrah halaman 25.
[51] Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 25-26 nomor 51.
[52]  Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 26 nomor 52.
[53]  Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 26 nomor 53.
[54] HR Abu Nu’aim di dalam mustakhrojnya atas shahih Muslim. Lihat Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 26 nomor 54.
[55]  Telah meriwayatkan atsar ini Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Mas’ud dan  Ibnu ‘Umar sengan sanad yang shahih. Lihat Manaasik al-Hajj wa al-‘Umrah  halaman 26 nomor 55.
[56]   HR al-Bukhoriy: 1727, 1728, Muslim: 1301,  1302, Abu Dawud: 1979, Ibnu Majah: 3044, ad-Darimiy: II/ 64, Ahmad: II/  16, 24, 79, 119, 138, 141, 151 dari Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar. Berkata  asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Irwa’ al-Ghalil: 1084 dan  Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah halaman 27 nomor 56.
[57]   HR Abu Dawud: 1984, 1985. Berkata  asy-Syaikh al-Albaniy Shahih sebagaimana di dalam Shahih Sunan Abi  Dawud: 1747, 1748, dari Ibnu ‘Abbas dengan lafazh: “Tidak ada bagi  wanita mencukur tetapi atas wanita memotong”. Dan hadits yang semakna  dikeluarkan oleh at-Tirmidziy: 914 dan Shahih Sunan at-Tirmidziy: 728  dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-  melarang  wanita untuk mencukur (rambut) kepalanya. Lihat Fat-h al-Bariy: III:  565.
 
0 comments:
Post a Comment