JENIS-JENIS TAUHID
بسم الله الرحمن الرحيم
Siapa yang tidak bangga menjadi muslim?. Siapapun dia, mudah-mudahan  ia akan dengan bangga mengatakan, “aku adalah seorang muslim”. Namun semoga  pula ia mengerti akan hal-hal yang dapat menjadikannya sebagai seorang  muslim sejati, minimal ia mengetahui lima rukun Islam yang terdiri dari,  mengucapkan dua kalimat syahadat, menegakkan sholat, membayar zakat,  melaksanakan ibadah shiyam Ramadlan dan menunaikan ibadah haji jika  mampu.
Jika membicarakan tentang dua kalimat syahadat, khususnya tentang  syahadat pertama yaitu kalimat “Laa ilaaha illallah”, niscaya akan  sering disinggung tentang akidah tauhid yang merupakan pondasi dasar dan  utama di dalam menegakkan Islam. Banyak kitab-kitab tauhid ataupun  fikih yang menjelaskan dan menegaskan hal tersebut di dalamnya.
Namun jika ditanyakan kepada kaum muslimin tentang, Apakah yang  dimaksud dengan tauhid?. Ada berapa jeniskah tauhid itu?. Apakah mereka  dapat menyebutkannya beserta maksudnya?. Mayoritas mereka mungkin akan  menjawab, “tidak tahu”. Padahal ilmu tentang tauhid itu sangat penting  dan paling berhak untuk diketahui agar mereka dapat membedakan tauhid  yang ini dari yang itu. Sehingga mereka dapat menilai dengan tepat  perbedaan antara orang-orang beriman yang bertauhid dari yang   mengaku-ngaku beriman saja.
Banyak di antara kaum muslimin sangat mengagumi seseorang yang  bersikap baik, perhatian dan peduli kepada kaum fakir miskin, berani  melawan kezholiman sudah begitu mengakui adanya tuhan Sang pencipta  lagi. Padahal orang yang dikagumi itu jelas-jelas orang kafir yaitu  orang diluar kalangan umat Islam.  Terkadang kekaguman kepada  orang-orang kafir itu sangat berlebihan, sehingga mereka dijadikan  sebagai teladan, panutan, idola, motivator dan semisalnya, lebih dari  pada kekaguman kepada para ulama mereka yang telah memperjuangkan Islam  dengan hujjah yang benar, penuh kesungguhan dan pengorbanan.
Allah ta’ala telah menerangkan di dalam kitab-Nya akan  ketidak-bergunaan amalnya orang-orang kafir meskipun banyak dan bernilai  di sisi manusia.
مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُم  كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِى يَوْمٍ عَاصِفٍ لَّا يَقْدِرُونَ  مِمَّــا كَسَبُوا عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلَالُ اْلبَعِيدُ
Orang-orang yang kafir kepada Rabbnya, amalan-amalan mereka adalah  seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin  kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang  telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan  yang jauh. [QS. Ibrahim/ 14: 18].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,  “Gugurnya amalan orang-orang musyrik dan kafir dan kegagalan mereka  dengannya, karena mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari  amal-amalnya tersebut”. [1]
وَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ  يَحْسَبُهُ الظَّمْئَــانُ  مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ  شَيْــئًا وَ وَجَدَ اللهَ عِندَهُ فَوَفَّاهُ حِسَــابَهُ وَ اللهُ  سَرِيعُ اْلحِسَـــابِ
Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di  tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi  bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan  didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya  perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat  perhitungan-Nya. [QS. An-Nur/ 24: 39].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,  “Terdapat penjelasan akan kerugian orang-orang kafir di dalam amal-amal  mereka dan kehidupan mereka seluruhnya”. [2]
Di dalam dua ayat di atas, Allah Azza wa Jalla telah menerangkan  amalan orang-orang kafir sebanyak apapun dan semanfaat apapun bagi  manusia, maka amal-amal tersebut tidak akan berguna bagi para pelakunya  sedikitpun pada hari kiamat. Amal-amal tersebut diumpamakan seperti debu  yang ditiup angin kencang dan fatamorgana.
Masihkah tersisa debu yang ada pada sesuatu ketika ditiup oleh angin  yang keras, maka jawabannya tidak. Begitupun amal orang-orang kafir,  pada hari kiamat tidak ada satupun amal yang tersisa untuk diambil  manfaat oleh mereka.  Mereka tidak akan memperoleh sedikitpun kebaikan  dari apa yang telah mereka kerjakan.
Fatamorgana adalah sesuatu yang terlihat ada padahal tidak ada, hal  tersebut biasanya karena pantulan dari sesuatu yang sebenarnya ada.  Begitu pula amal orang-orang kafir, ketika mereka beramal mereka  mengkhayal akan adanya balasan kebaikan baginya pada hari kiamat nanti.  Namun begitu mereka sampai ke negeri akhirat, mereka tidak  mendapatkannya sedikitpun balasan kebaikan untuknya bahkan yang ada  hanyalah balasan keburukan. Semuanya itu dikarenakan mereka adalah  orang-orang yang tidak beriman dengan keimanan yang sesungguhnya. Mereka  mengaku beriman tetapi tidak dilandasi oleh tauhid yang semestinya.
Oleh karena itu untuk menambahkan wawasan mengenai tauhid, akan  diungkapkan di sini beberapa hal yang berkenaan dengan macam-macam  tauhid yang telah diterangkan oleh beberapa ulama tauhid di dalam  kitab-kitab mereka,[3]  yaitu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma dan sifat. Rincian keterangannya adalah sebagai berikut,
1). Tauhid Rububiyah.
Yaitu suatu keyakinan (i’tikad) dan pengakuan (i’tiraf) bahwasanya  Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Pemelihara (ar-Rabb), Pencipta  (al-Kholiq), Pemberi rizki (ar-Roziq), Pengatur (al-Mudabbir), Yang  menghidupkan (al-Muhyi), Yang mematikan (al-Mumit) dan Yang memiliki  kekuasaan (al-Malik), dan lain sebagainya. Tauhid jenis ini juga  dinamakan tauhid al-Af’al, karena tauhid ini menerangkan akan  perbuatan-perbuatan Allah dari mencipta, menurunkan hujan, mengatur  berbagai urusan dan selainnya.
Orang-orang kafir di antara kaum ahli kitab dan kaum musyrikin  mengakui tauhid macam ini, tetapi pengakuan tersebut tidaklah memasukkan  mereka ke dalam agama Islam, tidak memelihara harta dan darah mereka  dan tidak akan menyelamatkan diri mereka dari adzab neraka pada hari  kiamat, kecuali jika mereka datang dengan tauhid uluhiyah bersamanya.
Berkata al-Allamah Ibnu Abi al-Izz al-Hanafiy  rahimahullah, “Maka  andaikata ada seseorang mengakui tauhid rububiyah yang juga diakui oleh  ahli filsafat dan kebanyakan ahli tasawuf berkecimpung padanya, lalu  menjadikannya sebagai tujuan bagi orang-orang yang berjalan (tujuan ahli  suluk) sebagaimana diceritakan oleh penyusun kitab “Manazil as-Sairin” dan selainnya, sedangkan disamping itu jika ia tidak beribadah kepada  Allah saja dan berlepas diri dari penyembahan selainnya, maka ia adalah  seorang musyrik dari sejenisnya dari kaum musyrikin”. [4]
Dalil-dalil pengakuan orang-orang musyrik terhadap tauhid rububiyah, di antaranya,
        وَ لَئِن سَأَلْـتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَ  اْلأَرْضَ وَ سَخَّرَ الشَّمْسَ وَ اْلقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللهُ فَأَنَّى  يُؤْفُكُونَ
Dan sesungguhnya jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang  menciptakan langit dan bumi, dan siapakah yang menundukkan matahari dan  bulan?”. Tentu mereka akan menjawab, “Allah”, maka mengapakah mereka  dipalingkan (dari jalan yang benar)?. [QS. al-’Ankabut/29: 61].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,  “Terdapat rasa heran dari berlawanan (keadaan)nya orang-orang musyrik,  yang beriman kepada rububiyah Allah dan mereka membenci (atau  mengingkari) uluhiyah-Nya”.[5]
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Kemudian Allah Subhanahu  menyebutkan keadaan orang-orang musyrik dari penduduk Mekkah dan selain  mereka dan perasaan aneh orang yang mendengar tentang keadaan mereka  yaitu mengakui bahwasanya Ia adalah Pencipta dan Pemberi rizki mereka  tetapi mereka tidak mentauhidkan-Nya dan tidak meninggalkan peribadatan  kepada selain-Nya”.[6]
وَ لَـئِن سَأَلْـتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً  فَأَحْيَـا بِهِ اْلأَرْضَ مِن بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللهُ قُلِ  اْلحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, “Siapakah yang  menurunkan air dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu  sesudah matinya (keringnya)?”. Niscaya mereka akan menjawab, “Allah”.  Katakanlah, “Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak  memahaminya”. [QS. al-’Ankabut/29: 63].
قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِنَ السَّمَاءِ وَ اْلأَرْضِ أَمَّن  يَمْلِكَ السَّمْعَ وَ اْلأَبْصَارَ وَ مَن يُخْرِجُ اْلحَيَّ مِنَ  اْلمـــَيِّتِ  وَ يُخْرِجُ اْلمـــَيِّتَ مِنَ اْلحَيِّ وَ مَن يُدَبِّرُ  اْلأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah, “Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan  bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan  penglihatan, siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan  mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala  urusan?”. Maka mereka akan mengatakan, “Allah”. Maka katakanlah,  “Mengapa kalian tidak bertakwa (kepada-Nya)?”. [QS. Yunus/10: 31].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,  “Orang-orang musyrik Arab mereka syirik di dalam uluhiyah dan bertauhid  di dalam rububiyah. Dan tidaklah bermanfaat bahwasanya seorang hamba itu  bertauhid rububiyah dan syirik di dalam uluhiyah”.[7]
        قُل لِمَنِ اْلأَرْضُ وَ مَن فِيهَا إِن كُنتُم  تَعْلَمُونَ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ قُلْ مَن  رَّبُّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَ رَبُّ اْلعَرْشِ اْلعَظِيمِ سَيَقُولُونَ  لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ قُلْ مَن بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ  شَيْءٍ وَ هُوَ يُجِيـرُ وَ لَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ  سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ
Katakanlah, “Kepunyaan siapakah bumi dan semua yang ada padanya, jika  kamu mengetahui?”. Mereka menjawab, “Kepunyaan Allah”. Katakanlah,  “Apakah kamu tidak ingat!”. Katakanlah, “Siapakah Yang mempunyai langit  yang tujuh dan Yang mempunyai arsy yang agung?”. Mereka akan menjawab,  “Kepunyaan Allah”. Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak bertakwa?”.  Katakanlah, “Siapakah yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu  sedangkan Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari  (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?”. Mereka menjawab, “Kepunyaan Allah”.  Katakanlah, “(kalau demikian), maka dari jalan manakah kalian ditipu?”.  [QS. al-Mukminun/23: 84-89].
        وَ لَـئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ  اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ وَ قِيلِهِ يَا رَبِّ إِنَّ هَؤُلَاءِ قَوْمٌ  لَّا يُؤْمِنُونَ
Dan sungguh-sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang  menciptakan mereka?”. Niscaya mereka akan menjawab, “Allah”. Maka  bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah). Dan (Allah  mengetahui) ucapannya (yaitu ucapan nabi Muhammad), “Wahai rabb-ku  sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang tidak beriman”. [QS.  az-zukhruf/43: 87-88].
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah memberikan tanggapan atas  dalil-dalil tersebut di atas, di antaranya, “Yaitu dan jika kamu  bertanya kepada orang-orang yang mempersekutukan Allah, yang beribadah  kepada selain-Nya di samping-Nya, “Siapakah yang menciptakan mereka?”.  Niscaya mereka akan menjawab, “Allah”, yakni mereka mengakui bahwasanya  Dia sajalah Yang menciptakan segala sesuatu semuanya, tiada sekutu  bagi-Nya di dalam hal ini. Dan di samping itu mereka beribadah kepada  selain-Nya di samping-Nya, yang tidak mempunyai sesuatu apapun dan tidak  berkuasa atas sesuatu, maka mereka di dalam hal ini sangat bodoh, dungu  dan lemah akal”.[8]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Yaitu dan  benar-benar jika engkau bertanya kepada orang-orang musyrik, “Siapakah  yang menciptakan mereka”, tentulah mereka akan menjawabmu seraya  berkata, “Allah”. Subhanallah!. Bagaimana mereka mengakui tauhid  rububiyah dan mengingkari tauhid ibadah (atau disebut juga uluhiyah)”.[9]
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Benar-benar jika engkau  bertanya kepada orang-orang musyrik penyembah berhala, ‘Siapakah yang  menciptakan mereka’. Mereka mengikrarkan dan mengakui bahwasanya  pencipta mereka adalah Allah dan mereka tidak kuasa untuk mengingkarinya  dan tidak mampu untuk menyanggahnya karena jelas dan terangnya perkara  tersebut. ((Maka bagaimana mereka dapat dipalingkan?)) yaitu maka  bagaimana mereka berbalik dari mengibadahi Allah kepada mengibadahi  selainNya, dan berpaling dari mengibadahi-Nya dengan masih disertai  pengakuan terhadapnya. Maka orang yang mengakui bahwasanya Allah adalah  Penciptanya lalu apabila dengan sengaja (ia beribadahah) kepada berhala  atau hewan dan mengibadahi di samping Allah atau mengibadahinya saja,  maka sungguh-sungguh ia telah beribadah kepada sebahagian makhluk Allah,  dan di dalam hal ini termasuk dari kebodohan, sesuatu yang ia tidak  dapat mengukur kadarnya”. [10]
Berkata Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Diketahui  bahwasanya kaum musyrikin dari bangsa Arab yang telah diutus Muhammad  Shallallahu alaihi wa sallam kepada mereka yang pertama, mereka tidak  menyelisihi beliau di dalam masalah ini (yaitu di dalam tauhid af’al atau tauhid rububiyah) bahkan mereka mengakui bahwasanya Allah adalah  Pencipta segala sesuatu hatta sesungguhnya mereka mengakui takdir pula,  sedangkan mereka di samping itu adalah orang-orang musyrik”.[11]
Jadi jelaslah bahwa kaum musyrikin itu walaupun mereka mengakui Allah  Subhanahu wa ta’ala yang menciptakan, memberikan rizki dan mengatur  urusan mereka dan lain sebagainya dari tauhid rububiyah, tetapi mereka  sangat bodoh dan enggan mengakui tauhid ibadah (atau tauhid uluhiyah)  yakni beribadah dan memperhambakan diri kepada Allah Azza wa Jalla saja.  Mereka mengakui tauhid rububiyah, tetapi mereka tidak dapat mengambil  faidah darinya jika tanpa disertai tauhid uluhiyah.
Bukankah Iblis la’natullah alaihi juga mengakui bahwa Allah  ta’ala-lah yang menciptakannya dari api dan juga telah menciptakan nabi  Adam alaihis Salam dari tanah?. Namun pengakuan itu tidak berguna  baginya, karena ia telah dimasukkan ke dalam golongan kafirin lantaran  menolak perintah Allah Azza wa Jalla untuk memuliaakan nabi Adam alaihis  Salam.
فَسَجَدَ اْلمـــَلَائِكَةُ كُلُّـهُمْ أَجْمَعُونَ إِلَّا  إِبْلِيسَ اسْتَكْبَرَ وَ كَانَ مِنَ اْلكَافِرِينَ قَالَ يَا إِبْلِيسُ  مَا مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَــا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ  كُنتَ مِنَ اْلعَالِينَ قَالَ أَنَــا خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِى مِن  نَّارٍ وَ خَلَقْتَهُ مِن طِينٍ
Lalu seluruh para malaikat itu bersujud semuanya, kecuali Iblis; dia  menyombongkan diri dan adalah dia termasuk orang-orang yang kafir. Allah  berfirman, “Hai iblis, apakah yang menghalangimu untuk sujud kepada  yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan  diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”.  Iblis berkata, “aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku  dari api, sedangkan Engkau menciptakannya dari tanah”. [QS. Shod/ 38:  73-77].
Bahkan banyak di antara mereka yang menjadikan perantara-perantara  bersama-Nya dan mereka menyangka bahwasanya perantara-perantara tersebut  dapat memberi syafaat dan mendekatkan diri mereka kepada Allah  sedekat-dekatnya. Sebagaimana Allah Jalla Jalaluhu telah mengungkapkan  keyakinan mereka yang batil di dalam firman-Nya,
        وَ يَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ  وَ لَا يَنفَعُهُمْ وَ يَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللهِ قُلْ  أَتُـــنَبِّـــئُونَ اللهَ بِمَـــا لَا يَعْلَمُ فِى السَّمَوَاتِ وَ  لَا فِى اْلأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى عَمَّــا يُشْرِكُونَ
Dan mereka menyembah selain dari Allah apa yang tidak dapat memberi  mudlarat dan manfaat kepada mereka. Dan mereka berkata, “Mereka itu  adalah para pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah”. Katakanlah,  “Apakah kalian hendak mengabarkan kepada Allah apa yang tidak  diketahuinya baik di langit dan tidak pula di bumi. Maha suci Allah dan  Maha tinggi dari apa yang mereka persekutukan”. [QS. Yunus/ 10: 18].
 أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ اْلخَالِصُ وَ الَّذِينَ اتَّخَذُوا  مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَــرِّبُونَا إِلَى  اللهِ زُلْفَى إِنَّ اللهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِى مَا هُمْ فِيهِ  يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللهَ لَا يَهْدِى مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَــفَّارٌ
Ingatlah, kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan  orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain dari-Nya berkata,  “Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka dapat mendekatkan  diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya”. [QS. Az-Zumar/ 39: 3].
Dari dalil-dalil di atas diketahui bahwasanya mereka tidak meyakini  ilah-ilah mereka itu dapat memberi manfaat dan mudlarat, menghidupkan  dan mematikan, memberi dan menahan rizki. Mereka mengibadahi ilah-ilah  mereka itu hanyalah agar dapat memberikan syafaat bagi mereka dan dapat  mendekatkan diri mereka kepada Allah sedekat-dekatnya pada hari kiamat.  Lata, Uzza, Manat, Hubal, al-Masiih, Maryam dan orang-orang shalih di  antara para hamba, mereka semuanya tidak disembah oleh kaum musyrikin  yang pertama karena dapat memberikan manfaat dan mudlarat, tetapi mereka  menyembah semuanya itu lantaran mengharapkan syafaat dan agar dapat  mendekatkan diri mereka kepada Allah sedekat-dekatnya, maka Allah  menghukumkan mereka dengan kemusyrikan.
Oleh karena itu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengadukan  hal tersebut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala bahwa mereka adalah  orang-orang yang tidak beriman. Dan Allah Azza wa Jalla memasukkan kaum  musyrikin ke dalam golongan orang-orang kafir yang kekal di dalam adzab  neraka. Ma’aadzallah.
            إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ  اْلكِــتَابِ وَ اْلمـــُشْرِكِينَ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا  أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ اْلبَرِيَّةِ
Sesungguhnya orang-orang kafir di antara ahli kitab dan orang-orang  musyrik (akan masuk) ke dalam neraka jahanam, mereka kekal di dalamnya.  Mereka itu adalah seburuk-buruknya makhluk. [QS. al-Bayyinah/98: 6].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,  “Sesudah dijelaskan mengenai agama yang hak (benar), yang menyelamatkan  dari azab dan membawa kepada kenikmatan yaitu agama Islam, Allah ta’ala  mengkhabarkan bahwasanya barangsiapa yang kufur kepadanya (yaitu agama  Islam tersebut) di antara ahli kitab dan orang-orang musyrik, maka  mereka di dalam neraka Jahannam, dalam keadaan kekal di dalamnya. Inilah  hukum (ketetapan) Allah kepada mereka, lantaran kekafiran dan  berpalingnya mereka dari kebenaran, setelah datang kepada mereka  keterangan. Dan mereka mengetahui jalan (yang benar/ lurus) tetapi  mereka menjauhkannya karena ridlo dengan kebatilan, dan mereka merasa  cukup dengan kekafiran dan kemusyrikan sebagai pengganti keimanan dan  tauhid. Orang-orang kafir lagi berbuat dosa, mereka itu semuanya adalah  seburuk-buruknya makhluk”. [12]
2). Tauhid Uluhiyyah.
Tauhid uluhiyyah ini dinamakan juga tauhid ibadah, yaitu  mengesakan Allah Subhanahu wa ta’ala dengan berbagai macam ibadah yang  disyariatkan, misalnya; ad-du’a (berdoa/ memohon), al-isti’anah (meminta  pertolongan), al-istighotsah (meminta bantuan), al-isti’adzah (meminta  perlindungan), ath-thowaf (mengelilingi ka’bah), an-nadzr (bernadzar),  adz-dzabh (berkurban), at-tawakkul (bertawakal), al-khouf (rasa  khawatir), al-khosyyah (rasa takut), dan selainnya diantara ibadah yang  Allah ta’ala telah perintahkan dan semuanya itu untuk Allah Jalla  Jalaluhu semata. Karena Dialah yang patut untuk disembah, bukan yang  lain-Nya kendatipun tinggi derajat dan kedudukannya. Maka barangsiapa  ada yang memalingkan salah satu dari macam-macam ibadah tersebut kepada  selain Allah, maka dia adalah orang musyrik lagi kafir.
Tauhid macam inilah yang menyebabkan Allah Subhanahu wa ta’ala  mengutus para rosul Alaihimus Salam kepada umatnya masing-masing dan  menurunkan kitab-kitabNya kepada mereka. Karena para rosul datang kepada  mereka untuk mengakui tauhid rububiyah yang mereka telah yakini dan  kemudian mengajak mereka kepada tauhid uluhiyah, sebagaimana Allah Azza  wa Jalla telah beritakan tentang mereka di dalam al-Qur’an yang mulia.
Maka barangsiapa yang tidak mengakui dan memiliki tauhid uluhiyah ini  di dalam dirinya maka dia adalah seorang musyrik lagi kafir, kendatipun  dia mengakui tauhid rububiyah dan tauhid asma dan sifat. Seandainya ada  seseorang mengakui tauhid rububiyah dan tauhid asma dan sifat dengan  pengakuan yang sempurna, tetapi di samping itu ia masih suka mendatangi  kuburan untuk beribadah kepada penghuninya, bernadzar dan berkurban  kepadanya, thowaf di sekitar kuburan tersebut, yang semuanya itu  bertujuan untuk mendekatkan dirinya (taqorrub) kepada Allah Subhanahu wa  ta’ala dengannya dan mengharapkan syafaat darinya di hari kiamat karena  menganggap si penghuni kubur adalah wasilah (perantara) di antaranya  dan di antara Allah, atau senantiasa mengunjungi dukun-dukun, ahli-ahli  nujum dan yang semisalnya untuk mengharapkan keselamatan, kesejahteraan  atau kesembuhan, atau menggantungkan hidupnya kepada jimat-jimat dan  mantera-mantera untuk menolak bala, mendatangkan keberuntungan atau  menimbulkan kasih sayang dari orang lain, atau mengkultuskan (ithra’) dan melebih-lebihkan (ghuluw)  orang-orang yang dianggap shalih dengan tujuan mengharapkan berkah  (atau istilahnya; ngalap berkah) dari bekas minuman, makanan dan pakaian  mereka atau air liur, keringat dan sesuatu yang lainnya dari mereka  atau menerima hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah syariat hanya  dari mereka dan menolak atau menomor duakan yang lainnya padahal orang  lain tersebut membawa bukti (atau dalil) yang lebih jelas dan benar dari  al-Qur’an dan hadits yang shahih, dan lain sebagainya yang semisalnya,  lalu ia mati dalam keadaan demikian itu maka dia mati dalam keadaan  musyrik lagi kafir, yang ia kekal di dalam neraka jahannam  selama-lamanya. [13]
Berkata asy-Syaikh Muhammad ash-Shalih al-Utsaimin rahimahullah,  “Para Rosul yang diutus oleh Allah Azza wa Jalla kepada manusia tidaklah  mengajak mereka kepada tauhid rububiyah sebagaimana mereka mengajak  kepada tauhid uluhiyah. Yang demikian itu karena orang-orang yang  mengingkari tauhid rububiyah itu sedikit sekali sehingga orang-orang  yang mengingkarinya itu di dalam relung hati mereka tersebut tidak  sanggup untuk mengingkarinya”. [14]
Berkata Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Pengakuan orang  musyrik bahwasanya Allah adalah Rabb segala sesuatu, Penguasa dan  Penciptanya itu tidaklah dapat menyelamatkannya dari adzab Allah, jika  ia tidak mengaitkan pengakuannya itu dengan kalimat “Laa ilaaha  illallah”, maka tidak ada seorangpun yang pantas diibadahi kecuali Dia.  Dan bahwasanya Muhammad itu adalah utusan Allah, maka wajib baginya  membenarkannya terhadap segala apa yang ia beritakan, mematuhinya pada  apa yang ia perintahkan”. [15]
Tauhid macam ini jugalah yang dibenci, diingkari dan ditentang oleh  orang-orang kafir di antara ahli kitab dan kaum musyrikin, karena  -sebagaimana telah berlalu keterangannya di dalam penjelasan terdahulu-  pada umumnya dakwahnya para rosul alaihimus Salam dan khususnya dakwah  Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah mengajak umat manusia  untuk beribadah kepada Allah ta’ala saja dan meninggalkan segala macam  peribadatan kepada selain-Nya. Maka timbulnya permusuhan dan  perselisihan di antara umat manusia dan para rosul alaihimus Salam sejak  masa nabi Nuh alaihis Salam sampai masa nabi Muhammad Shallallahu  alaihi wa sallam adalah di dalam tauhid uluhiyah ini. Ketika para rosul  alaihimus sholatu was salam mengajak mereka untuk beribadah kepada Allah  ta’ala saja dan meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya, mereka  tetap bertahan di dalam beribadah kepada sembahan-sembahan yang mereka  miliki dan cintai. Dan bahkan mereka tak segan-segan mendustakan,  mencerca, memberikan gelar-gelar buruk, mengucilkan, mengusir,  menganiaya dan bahkan membunuh sebahagian para rosul dan orang-orang  beriman yang mengikuti mereka.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini ada beberapa dalil yang berisikan  sikap kaum musyrikin di dalam menyikapi kalimat “laa ilaaha illallah”  (tauhid uluhiyah),
        وَ عَجِبُوا أَن جَاءَهُم مُّنذِرٌ مِّنْهُمْ وَ  قَالَ اْلكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَــذَّابٌ أَجَعَلَ اْلآلِهَةَ إِلَهًا  وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
Dan mereka heran karena kedatangan seorang pemberi peringatan (rosul)  dari kalangan mereka. Dan orang-orang kafir berkata: Dia ini adalah  seorang ahli sihir lagi pendusta. Mengapa dia hendak menjadikan  sembahan-sembahan itu menjadi satu sembahan saja?. Sesungguhnya ini  benar-benar suatu yang sangat mengherankan. [QS. Shood/38: 4-5].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,  “(Adanya) penjelasan mengenai kejahilan kaum musyrikin, di dalam (hal)  keingkaran mereka terhadap kalimat “laa ilaaha illallah” dan “Muhammad  Rosulullah”.[16]
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Yaitu apakah ia  menganggap sesembahan itu esa, tiada ilah selain Dia?. Kaum musyrikin  mengingkari yang demikian itu, -mudah-mudahan Allah ta’ala menimpakan  keburukan kepada mereka- dan mereka heran terhadap orang yang  meninggalkan perbuatan syirik terhadap Allah, karena sesungguhnya mereka  telah menjumpai para leluhur mereka menyembah berhala dan hati mereka  telah meresapinya”.[17]
        إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ  إِلَّا اللهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَ يَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا  ءَالِهَتِـــنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka, “laa  ilaaha illallah” (tiada ilah yang pantas disembah selain Allah) mereka  menyombongkan diri, dan mereka berkata: apakah sesungguhnya kami harus  meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila. [QS.  ash-Shoffat/37: 35-36].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iry hafizhohullah, “Allah  ta’ala memberi khabar mengenai orang-orang musyrik Quraisy bahwasanya  mereka di dunia, apabila Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam atau  salah seorang dari kaum mukminin berkata kepada mereka, “Ucapkanlah  kalimat “laa ilaaha illallah”!, mereka menyombongkan diri, jengkel dan  tidak mau mengucapkannya bahkan mereka mengatakan, “maka apakah kami  akan meninggalkan ilah-ilah kami lantaran seorang penyair gila”.[18]
Berkata al-Imam al-Baghowiy rahimahullah, “Mereka menyombongkan diri dari kalimat tauhid dan ingkar darinya”.[19]
وَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ  الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاْلأَخِرَةِ وَ إِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِن  دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
Dan apabila hanya nama Allah yang disebut, kesallah hati orang-orang  yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, dan apabila nama  sembahan-sembahan selain-Nya yang disebut, tiba-tiba mereka bersenang  hati. [QS. az-zumar/39: 45].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Ini  adalah suatu penampakan mengenai keadaan kaum musyrikin dan apa-apa yang  ada pada mereka dari kebodohan dan kedunguan, sesungguhnya mereka  apabila mendengar kalimat  “laa ilaaha illallah” mereka lari, kecut dan  tampaklah dari sebab yang demikian itu kemarahan pada wajah mereka,  hampir-hampir mereka menyerang orang yang mengatakan kalimat “laa ilaaha  illallah”.[20]
Katanya lagi, “(adanya) penjelasan mengenai kedunguan kaum musyrikin  dan kesesatan mereka di dalam kemarahan mereka ketika mendengar kalimat  tauhid dan kegembiraan mereka ketika mendengar kalimat syirik”.[21]
        وَ إِذَا قَرَأْتَ اْلقُرْءَانَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ  وَ بَيْنَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاْلأَخِرَةِ حِجَابًا مَّسْتُورًا  وَ جَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَن يَفْقَهُوهُ وَ فِى  ءَاذَانِهَمْ وَقْرًا وَ إِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِى اْلقُرْءَانَ وَحْدَهُ  وَلَّوْا عَلَى أَدْبَارِهِمْ نُفُورًا
Dan apabila kamu membaca alqur’an, niscaya Kami adakan antara kamu  dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat suatu  dinding yang tertutup, dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan  sumbatan di telinga mereka agar mereka (tidak) dapat memahaminya. Dan  apabila kamu menyebut nama Rabb-mu saja di dalam al-qur’an mereka  berpaling ke belakang karena bencinya. [QS. al-Israa’/17: 45-46].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Allah  Subhanahu wa ta’ala mengkhabarkan kepada rosul-Nya Muhammad Shallallahu  alaihi wa Sallam bahwasanya apabila dia membaca al-Qur’an kepada kaum  musyrikin untuk mendakwahi mereka kepada Allah ta’ala agar mereka  beriman dan beribadah kepada-Nya saja, Allah ta’ala telah jadikan di  antaranya dan di antara kaum musyrikin itu suatu hijab (dinding) yang  menutup atau ditutup yang tidak dapat dilihat -dan ini adalah benar-  yang mendindingi di antara mereka dan di antara Rosul Shallallahu alaihi  wa sallam  sehingga mereka tidak mendengar al-Qur’an yang dibacakan  kepada mereka, lalu mereka tidak dapat mengambil manfaat dengannya”.[22]
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang semisal ini di dalam al-Qur’an  yang agung, yang menjelaskan bahwa orang-orang kafir itu walaupun mereka  mengakui akan tauhid rububiyah tetapi mereka menolak dan mengingkari  adanya tauhid uluhiyah, maka inilah yang menyebabkan ditetapkannya  mereka di dalam kekafiran. Dan amatlah disayangkan, jika banyak di  antara kaum muslimin bahkan para dainya yang terpedaya akan hal ini,  yakni banyak di antara mereka yang kagum kepada orang-orang kafir, yang  -menurut pengamatan di antara mereka- kendatipun maju di dalam sain dan  tekhnologi tetapi mereka masih mengakui adanya Pencipta mereka. Padahal  sebagaimana telah dijelaskan bahwa pengakuan itu tiada manfaat  sedikitpun bagi mereka, jika mereka masih menolak dan mengingkari  keesaan Allah ta’ala (tauhid uluhiyah) dan kerosulan Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam. Bukankah Iblis la’anahullah juga mengakui  bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Yang telah menciptakannya dari  api?,[23] tetapi Allah Azza wa Jalla telah memasukkannya ke dalam golongan kaum  kafirin dan menjaminnya dengan neraka Jahannam, kekal ia di dalamnya  selama-lamanya. al-’iyaadzu billah.
3. Tauhid al-Asma’ wa ash-shifat.
Yaitu beriman dan meyakini dengan keyakinan yang jazim (teguh)  terhadap nama-nama Allah yang terbaik (al-asma’ al-husna) yang Allah  ta’ala sendiri telah menamakannya, dan sifat-sifat-Nya yang Dia sendiri  telah mensifatinya di dalam kitab-Nya atau melalui lisan Rosul-Nya  Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits yang telah tsabit  darinya, tanpa tahrif (atau ta’wil), ta’thil, takyif dan tamtsil (atau  tasybih).
Rincian maknanya[24] adalah sebagai berikut,
*Tahrif yaitu merubah nash al-Qur’an dan hadits yang shahih, baik berupa lafazh maupun maknanya, dari yang benar kepada yang bathil.
Misalnya; istawaa ( استوى ) yang artinya bersemayam dirubah menjadi  istawlaa (استولى) yang artinya berkuasa, sebagaimana dikatakan oleh  golongan Jahmiyah.
*Ta’thil  yaitu menafikan atau meniadakan sifat-sifat Allah, atau menetapkan  sebahagian sifat-sifat-Nya dan meniadakan sebahagian yang lainnya.
Misalnya; sifat tingginya Allah ta’ala di langit, sebahagian golongan  yang sesat beranggapan bahwa Allah ta’ala itu ada di setiap tempat.
*Takyif yaitu mengkondisikan atau menyesuaikan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla dengan mengajukan pertanyaan “bagaimana”.
Misalnya; sifat tingginya Allah ta’ala di atas arsy tidak akan  menyerupai makhluk-Nya, dan tiada seseorangpun yang mengetahui  keadaan-Nya kecuali Dia sendiri, maka tidak boleh ada pertanyaan:  bagaimanakah cara Allah bersemayam ?.
*Tamtsil yaitu menyerupakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
Misalnya; sifat turunnya Allah ta’ala ke langit dunia sama seperti turunnya manusia dari kendaraan.
Maka untuk memahami tauhid macam yang ketiga ini, seorang mukmin  harus menerima apa adanya dari al-Qur’an dan hadits yang shahih tanpa  tahrif, ta’thil, takyif maupun tamtsil, sebagaimana dijelaskan oleh para  ulama salaf, di antaranya;
Ibnu Suraij rahimahullah pernah ditanya mengenai sifat-sifat Allah  ta’ala. Ia menjawab, “Haram bagi akal untuk menyerupakan Allah, haram  bagi hati yang ragu untuk memberikan batasan-batasan-Nya, dan haram bagi  fikiran untuk memberikan sifat kecuali apa yang telah disifati oleh  diri-Nya di dalam kitab-Nya atau melalui lisan Rosul-Nya.  Sungguh-sungguh telah shahih dari seluruh ahli agama dan sunnah sampai  kepada zaman kita bahwasanya seluruh ayat dan khabar-khabar yang benar  dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, wajib bagi kaum muslimin  untuk beriman kepada setiap satu darinya sebagaimana telah datang.  Bahwasanya bertanya tentang makna-maknanya adalah perbuatan bid’ah dan  menjawabnya adalah berbuatan kufur dan zindiq. Seperti firman-Nya  ((Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya  Allah…QS.al-Baqarah/2: 210)), firman-Nya ((ar-Rohman bersemayam di atas  arsy. QS Thoha/20: 5)), firman-Nya ((Dan datanglah Rabbmu, sedangkan  para malaikat berbaris-baris. QS. al-Fajr/89: 22)), dan yang semisalnya  apa yang telah diucapkan oleh al-Qur’an seperti: di atas, diri (jiwa),  dua tangan, mendengar, melihat, naiknya kalimat yang baik kepada-Nya,  tertawa, takjub dan turun,  sampai kepada ucapan, “I’tikad (keyakinan)  kami padanya dan pada ayat-ayat mutasyaabihat bahwa kami menerimanya dan  tidak menolaknya, kami tidak menta’wilnya dengan ta’wil-ta’wil yang  menyelisihi, kami tidak membawanya kepada tasybih (penyerupaan)  orang-orang yang suka menyerupakan dan tidak menterjemahkan tentang  sifat-sifat dengan bahasa selain bahasa Arab dan kami menerima kabar  yang jelas dan ayat karena jelas turunnya ayat tersebut”.[25]
Berkata Abu Muhammad al-Barbahaariy al-Hasan bin ‘Ali bin Kholaf  rahimahullah, “Pembicaraan mengenai Rabb (Allah) adalah perkara baru,  bid’ah dan kesesatan. Maka janganlah membicarakan tentang Allah kecuali  dengan apa-apa yang Dia sendiri telah mensifati diri-Nya dengannya. Dan  kita tidak mengatakan tentang sifat-sifat-Nya, “tidak” dan tidak pula  “bagaimana”. Dia mengetahui yang rahasia dan yang tersembunyi. Di atas  arsy-Nya Dia bersemayam, ilmu-Nya (meliputi) setiap tempat dan al-Qur’an  itu adalah kalam Allah, yang diturunkan dan cahaya-Nya, bukan makhluk”.[26]
Berkata al-’Allaamah Abu Bakar Ahmad bin Ibrahim al-’Isma’iliy  rahimahullah, “Ketahuilah! -mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada  kalian- bahwasanya madzhab ahli hadits, ahli sunnah wa al-jama’ah  adalah mengakui Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan para  rosul-Nya. Menerima apa-apa yang difirmankan oleh Allah dan apa-apa yang  telah shahih riwayatnya dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,  tidak ada penyimpangan dari apa-apa yang telah datang dengannya. Mereka  beri’tikad bahawasanya Allah ta’ala itu diseru dengan nama-nama-Nya yang  terbaik, disifati dengan sifat-sifat-Nya yang Dia sendiri telah  mensifati diri-Nya dan disifati oleh Nabi-Nya. Dia menciptakan Adam  dengan tangan-Nya dan kedua tangan-Nya terbentang tanpa beri’ikad  “bagaimana”, Dia bersemayam di atas arsy tanpa beri’tikad “bagaimana”.  Maka sesungguhnya telah sampai kepada bahwasanya Dia bersemayam di atas  arsy dan tidak disebutkan bagaimana keadaan bersemayamnya”.[27]
Diantara sifat-sifat Allah ta’ala yang telah Dia sendiri  mensifati-Nya di dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rosul-Nya Shallallahu  alaihi wa sallam di dalam haditsnya yang shahih, adalah sebagai  berikut: sifat hidup, berdiri sendiri, mengetahui, mendengar, melihat,  berkuasa, berkehendak, berfirman, mengasihi, menyayangi, mencintai,  membenci, melaknat, mengampuni, memaafkan, datang, turun, bersemayam,  mempunyai wajah, kedua tangan, kedua mata, kaki, tertawa, takjub dan  lain sebagainya diantara sifat-sifat-Nya di dalam al-Qur’an dan hadits  yang shahih.[28] 
Dan tidak boleh seseorang menafsirkan sifat-sifat tersebut kecuali  dengan apa-apa yang datang dari salaf ash-shalih yaitu Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam, para shahabat radliyallahu anhum, para  tabi’in dan atba’u at-tabi’in serta orang-orang yang mengikuti jejak  mereka.
Misalnya; kata استواء dapat bermakna bersemayam, bertahta, naik,  duduk, menunggang, maknanya tergantung dari konteks kalimat di dalam  bahasa arab tersebut. Dan kalimat استوى على العرش  maknanya jelas adalah  bersemayam di atas ‘arsy. Apalagi telah datang penjelasan dari salaf  ash-shalih tentang makna tersebut, yaitu Abu al-’aliyah berkata, “ارتفع  إلى السماء (terangkat, naik tinggi ke langit)”. Berkata Mujahid, “علا  على العرش (tinggi, naik ke atas al-’arsy), sebagaimana didapati di dalam  kitab shahih al-Bukhoriy, kitab at-tauhid.[29] Dan tidak ada yang bermakna( استولى )   yaitu berkuasa”.
Seorang mukmin yang bertauhid wajib menetapkan adanya sifat  bersemayam (istawaa) bagi Allah Azza wa Jalla, dan tidak boleh  menafsirkan atau bahkan merubah lafazh (mentahrif) استوى menjadi استولى,  karena tiada satupun keterangan yang datang dari para salaf ash-shalih  tentangnya. Dan juga seorang mukmin itu tidak boleh mempersoalkan atau  mempertanyakan tentang bagaimana Allah Jalla Jalaluhu bersemayam  (istawaa) di atas ‘arsy-Nya yang agung, dan juga tidak akan menyerupakan  makna istiwaanya Allah Jalla Dzikruhu di atas arsy dengan istiwaanya  manusia di atas singgasananya, kudanya atau perahunya. Begitu pula ia  tidak akan menyerupakan wajah manusia dengan wajah Allah Azza wa Jalla,  tangannya dengan tangan-Nya, kakinya dengan kaki-Nya, turunnya manusia  dengan turun-Nya Allahta’ala , datangnya manusia dengan datangnya Robb  al-’aalamiin, dan seterusnya, karena Allah Azza wa Jalla telah  menetapkan di dalam kitab-Nya yang agung,
        لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَ هُوَ السَّمِيعُ اْلبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Mahamendengar lagi Mahamelihat [QS. asy-Syura/42: 11].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “yaitu tidak ada yang  seperti Pencipta pasang-pasangan, semuanya adalah sesuatu, karena Dia  adalah Yang Mahatunggal, Yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, yang  tiada bandingan bagi-Nya”.[30]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Ini  adalah pengenalan, yang Allah ta’ala memperkenalkan diri-Nya agar  dikenal diantara hamba-hamba-Nya. Dan bahwasanya Dia Azza wa Jalla tidak  ada yang menyerupai-Nya sesuatupun yaitu maka tidak ada sesuatupun yang  menyerupai-Nya. Maka Dia dikenal dengan tiada bandingan dalam keesaan,  maka Yang tiada menyerupai-Nya dan tidak ada sesuatupun yang  menyerupai-Nya, Dialah Allah Yang memiliki nama-nama yang terbaik dan  sifat-sifat yang tertinggi, Dialah Yang Mahamendengar semua suara,  Mahamengetahui segala keadaan”.[31]
Berkata al-’Allamah Ibnu Abi al-’Izz rahimahullah, “Dan tidaklah yang  dimaksud disini menafikan sifat-sifat sebagaimana yang dikatakan oleh  ahli bid’ah, maka sebahagian dari ucapan Abu Hanifah rahimahullah di  dalam kitab ‘al-fiqh al-akbar’, “Allah itu tidak  menyerupai sesuatu dari makhluk-Nya dan tidak ada sesuatupun dari  makhluk-Nya yang menyerupai-Nya”. Kemudian ia berkata lagi setelah itu,  “Dan sifat-sifatNya semuanya menyelisihi sifat-sifat makhluk, Dia  mengetahui tidak seperti pengetahuan kita, Dia berkuasa tidak seperti  kekuasaan kita dan Dia melihat tidak seperti penglihatan kita, -selesai.  Berkata Nu’aim bin Hammad, “Barangsiapa yang menyerupai Allah dengan  sesuatu dari makhluk-Nya maka sungguh-sungguh ia telah kafir dan  barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang Allah sendiri telah mensifati  diri-Nya maka sungguh-sungguh ia telah kafir, dan tidaklah pada apa-apa  yang telah disifati oleh Allah terhadap diri-Nya dan juga oleh Rosul-Nya  itu suatu tasybih (penyerupaan)”. Berkata Ishaaq bin Roohiwaih,  “Barangsiapa yang mensifati Allah lalu ia menyerupakan sifat-sifat-Nya  dengan sifat-sifat salah satu dari makhluk Allah maka ia kafir kepada  Allah yang Mahaagung”.[32]
Berkata al-Allamah Muhammad Kholil Harros rahimahullah,, “Ayat yang  jelas dari kitab Allah ini merupakan dustur (undang-undang) ahli sunnah  waljama’ah di dalam bab sifat-sifat (Allah). Karena Allah Azza wa Jalla  menghimpun padanya antara naïf (peniadaan) dan itsbat (penetapan), yaitu  Ia menafikan penyerupaan dari diri-Nya dan menetapkan pendengaran dan  penglihatan bagi diri-Nya. Maka hal ini menunjukkan bahwasanya madzhab  yang benar adalah tidak menafikan sifat-sifat secara mutlak sebagaimana  keadaannya golongan mu’aththilah (golongan yang menafikan sifat-sifat  Allah) dan tidak pula mengitsbatkan secara mutlak sebagaimana keadaannya  golongan mumatstsilah (yaitu golongan yang suka menyerupakan Allah  dengan makhluk), tetapi mengitsbatkannya tanpa tamtsil”. [33]
Oleh sebab itu, al-Imam Malik bin Anas rahimahullah ketika ditanya  tentang bagaimanakah cara Allah ta’ala bersemayam di atas ‘arsy-Nya,  beliau menjawab, “الاستواء (bersemayam) itu telah dikenal atau  diketahui, bagaimana caranya beristiwaa itu tidak dikenal (majhul),  beriman dengannya adalah sesuatu yang wajib dan bertanya tentangnya  adalah perkara bid’ah”.[34]
Sebelumnya, telah berkata Rabi’ah rahimahullah, gurunya al-Imam  Malik, “الاستواء (bersemayam) itu telah dikenal, bagaimana caranya  adalah tidak dikenal, penjelasan itu dari Allah, kewajiban Rosul adalah  menyampaikan dan kewajiban kita adalah beriman”.[35]
Demikianlah penjelasan singkat mengenai jenis-jenis tauhid, yang  mudah-mudahan kita semua meyakini dan mengimaninya dengan keimanan yang  sebenar-benarnya. Yakni hendaklah kita mengakui dan memiliki keyakinan  terhadap tauhid uluhiyyah (ibadah) dan asma wa sifat dengan benar dan  utuh sebagai syarat pokok dari seorang mukmin. Sedangkan tauhid  rububiyyah (al-af’al) pada umumnya semua manusia termasuk orang-orang  kafirpun mengakuinya.
Semoga hal ini dapat membantuku, keluargaku, para kerabat dan  shahabatku dan seluruh kaum muslimin untuk semakin memperbaiki dan  membenahi diri agar dapat menjadi mukmin yang bertauhid, yang lebih baik  lagi.
 [1] Aysar at-Tafasir: III/ 51.
 
 [2] Aysar at-Tafasir: III/ 577.
 
 [3] Baca kitab-kitab; Majmu’ ar-Rosa’il at-Tawjihat al-Islaamiyah halaman  164-165, Majmu’ Fatawa, Fatawa  al-’Aqidah, juz I halaman 17-25 dan  halaman 27, Syarh al-’Aqidah ath-Thohaawiyah halaman 78-88, kitab  Majmu’ah at-Tauhid juz I halaman 5-7 dan khusus mengenai tauhid al-Asma’  wa ash-shifat baca kitab Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyah oleh asy-Syaikh  Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin, al-’Allaamah Muhammad Kholil Harros  dan DR. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan dan kitab Mukhtashor  al-’Uluw lil’aliy al-ghaffar oleh al-Hafizh Syamsuddin adz-Dzahabiy  ditahqiq oleh asy-syaikh al-Albaniy.
 
 [4] Syarh al-Aqidah ath-Thohawiyah halaman 85.
 
 [5] Aysar at-Tafasir: IV/ 152.
 
 [6] Fat-h al-Qodir: IV/ 242.
 
 [7] Aysar at-Tafasir: II/ 470.
 
 [8] Tafsir al-Qur’an al-’Azhim: IV/ 166.
 
 [9] Aysar at-Tafasir: IV/ 660.
 
 [10] Fat-h al-Qodir oleh al-Imam asy-Syaukaniy: IV/ 648.
 
 [11] Majmu’ Fatawa: III/ 98.
 
 [12] Aysar at-Tafasir: V/ 602.
 
 [13] Lihat penjelasannya meskipun sedikit di dalam kitab Majmu’ Fatawa Fatawa al-Aqidah: I/ 21.
 
 [14] Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah oleh asy-Syaikh Muhammad ash-Shalih al-Utsaimin halaman 4-5.
 
 [15] Majmu’ Fatawa: III/ 105.
 
 [16] Aysar at-Tafasir: IV/ 438.
 
 [17] Tafsir al-Qur’an al-’Azhim: IV/ 35.
 
 [18] Aysar at-Tafasir: IV/ 404.
 
 [19] Tafsir al-Baghowiy: IV/ 26.
 
 [20] Aysar at-Tafasir: IV/ 494.
 
 [21] Aysar at-Tafasir: IV/ 494.
 
 [22] Aysar at-Tafasir: III/ 199.
 
 [23] QS. Al-A’raf/ 7: 12 dan Shod/ 38: 76.
 
 [24] Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah oleh asy-Syaikh al-Utsaimin halaman 62.
 
 [25] Mukhtashor al-’Uluw halaman 226-227.
 
 [26] Mukhtashor al-’Uluw halaman 244.
 
 [27] Mukhtashor al-’Uluw halaman 248-249.
 
 [28] Baca hal ini secara luas di dalam kitab Syarh al-’Aqidah  al-Wasithiyyah  oleh Muhammad Kholil Harros, Syarh al-’Aqidah  al-Wasithiyyah oleh Muhammad shalih al-’Utsaimin, Syarh al-’Aqidah  al-Wasithiyyah oleh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Majmu’  al-Fatawa Fatawa al-’Aqidah oleh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin,  Mukhtashor al-’Uluw oleh al-Imam adz-Dzahabiy dengan tahqiq asy-Syaikh  al-Albaniy, Mukhtashor ash-Showa’iq al-Mursalah oleh al-Imam Ibnu  al-Qoyyim al-Jauziyyah, dan lain-lainnya.
 
 [29] Shahih al-Bukhoriy: VIII/ 175 atau Fat-h al-Bariy: XIII/ 403.
 
 [30] Tafsir al-Qur’an al-’Azhim: IV: 132.
 
 [31] Aysar at-Tafasir: IV/ 597-598.
 
 [32] Syarh al-’Aqidah ath-Thohawiyah halaman 117-118.
 
 [33] Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah oleh Muhammad Kholil Harros halaman 69.
 
 [34] Majmu’ Fatawa oleh syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah: III/ 58, majmu’  Fatawa Fatawa al-’Aqidah oleh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin: I/ 137,  Arkan al-Islam oleh asy-Syaikh Bin Baz halaman 26, Syarh al-’Aqidah  al-Wasithiyah oleh Muhammad  bin Shalih al-’Utsaimin : I/ 72, Majmu’ah  ar-Rasa’il at-Tawjihat al-Islaamiyah halaman 169, Fat-h al-Bariy: XIII:  407, Syarh al-’Aqidah ath-Thohawiyyah halaman 124 dan Mukhtashor  al-’Uluw halaman 141, 180, 287.
 
[35] Majmu’ Fatawa: III/ 58, Arkan al-Islam halaman 26 dan Fat-h al-Bariy: XIII/ 406.
 
0 comments:
Post a Comment