بسم الله الرحمن الرحيم
Dimasa sekarang ini, berbagai jenis kemungkaran telah dan sedang  merajalela di segala tempat dan di sembarang orang. Dan terkadang sudah  menjadi hal biasa dan pemandangan yang lumrah di masyarakat, dan bahkan  nyaris menjadi suatu kebutuhan bagi mereka.
Di antara perkara kemungkaran yang paling populer sekarang ini adalah ghibah yang dikemas dengan istilah infotainment, suatu kemungkaran yang  diberinama bukan dengan namanya agar menipu dan memperdaya manusia.  Padahal lebih patut barangkali disebut dengan ghibahtainment atau bahkan buhtantainment.
Kita dapat lihat, ghibah ini telah menjadi legal dan membudaya di  mata masyarakat dengan munculnya tayangan-tayangan di televisi dengan  beraneka judul di berbagai stasiun televisi dan begitu pula di radio,  dari pagi membentang hingga malam menjelang. Lalu dilakukan berbagai  upaya kendatipun dengan cara-cara yang tercela untuk menaikkan rating  acara tersebut sebagai suatu acara favorit yang patut diacungi jempol  dan layak diperhitungkan. Bahkan banyak pula dijumpai acara reality show  yang mengandung perilaku ghibah dan tajassus yang terlarang ini. Entah  direkayasa atau tidak, acara-acara tersebut semuanya itu tidak ada unsur  pendidikannya sama sekali. Tetapi, hanya akan membawa kepada kerusakan  moral bagi selainnya dan penistaan dan kehancuran bagi orang-orang  tertentu yang menjadi objek perburuan berita tersebut. Apalagi sekarang  ini, acara-acara tersebut akan mendapatkan awards, yakni apresiasi dan penghargaan atas jerih payah mereka membedah,  menguliti, mencincang dan mengolah bangkai kaum muslimin dengan berbagai  racikan bumbu lalu menghidangkannya kepada khalayak masyarakat dengan  menu-menu yang menggiurkan. Subhaanallah, amat buruk apa yang mereka  usahakan itu.
Atau juga dengan munculnya beberapa koran, tabloid atau majalah yang  khusus menyebarkan berita-berita palsu atau kejelekan orang demi orang  agar dikonsumsi dan dinikmati oleh orang lain. Dan semuanya itu juga  dapat diakses dan dinikmati di dunia maya, karena semua pemberitaan itu  telah dimasukkan ke dalam dunia internet dengan aneka ragam situsnya.  Sehingga jutaan bahkan ratusan juta lebih manusia di seluruh dunia dapat  menyantap hidangan tersebut secara langsung tanpa kendala dan tidak  terkendali.
Para pencari berita (atau lebih tepatnya; pemburu aib) itu berusaha  dengan maksimal dan seoptimal mungkin untuk mencari keburukan seseorang  dengan mengintai, bertanya kepada kerabat, tetangga, kenalan atau juga  lawannya.
Jika ada berita keretakan rumah tangga dari seorang publik figur,  seketika itu ramailah rumah si objek berita oleh pemburu berita aib itu.  Puluhan bahkan lebih, para pencari info itu berkumpul di rumah sasaran  mereka dengan penuh harap untuk mendapatkan berita hangat yang terkini  dan terbaru. Memadatkan halaman dan jalanan, menahan letih dan lapar  hanya semata-mata untuk mendapat sesuatu yang mungkin mereka tidak  sadar, dapat menambah kekisruhan dan keretakan rumah tangga pada target  mereka tersebut. Tak jarang didapati, pertanyaan mereka kepada objek  berita atau keluarganya, menampakkan ketidak santunan, langsung menuduh,  memancing-mancing perkara yang lain dan kadang terlalu berlebihan.  Membuat si objek itu terkaget-kaget, kesal, marah  dan akhirnya lari  menghindar dari kejaran mereka. Begitukah moral bangsa ini, sekarang?  Bukankah agama yang mereka anut mengajarkan akhlak dan etika yang mulia  kepada mereka?? Coba bayangkan, jika anda atau salah satu keluarga anda  yang diburu dan didakwa para pemburu berita aib itu. Dicecar dan  dihujani oleh banyak pertanyaan dan tuduhan yang tidak anda sukai??.  Mungkin andapun tidak menyukainya dan muak terhadap semuanya itu.
Dan jika dijumpai berita salah seorang yang sangat atau cukup dikenal  masyarakat tersandung masalah korupsi, suap, skandal politik, narkoba,  perselingkuhan, pertengkaran dengan orang lain dan sebagainya dari  berbagai kesalahan, para papparazzi itu bersuka cita, bahagia dan bahkan  berteriak kegirangan laksana seorang bocah kecil mendapatkan kembang  gula. Artinya mereka akan segera mendapatkan suplai berita sebagai  sumber penghidupan mereka di atas kesusahan orang lain. Hot issue (isu hangat) itu tampaknya telah menjadi sumber penghasilan pokok  mereka dalam mengarungi bahtera hidup di dunia yang fana lagi hina ini.  Dan boleh jadi mereka selalu berdoa dan berharap, semoga setiap saat ada  orang-orang yang jatuh terjerembab ke dalam liang kesalahan dan lumpur  dosa. Sebab mungkin bagi mereka, aib dan dosa orang adalah yang  menghidupkan atau sumber kehidupan mereka. Sehingga ada sebuah pepatah, “berbahagia dan mendapat keuntungan di atas penderitaan orang lain”.  Ma’aadzallah.
Bahkan terkadang berita-berita itu dibuat dan dimuat dengan penuh  rekayasa, mengarang-ngarang dan mengada-ada tanpa mencari kebenaran  berita itu kepada calon yang diberitakan. Jika sudah dapat, segera aib  dan keburukannya tersebut ditayangkan atau diterbitkan, dan mereka  berharap dapat dinikmati oleh para pemirsa ataupun pembaca. Dengan  itulah dapur para pencari berita itu ngebul lagi berasap dan lantaran  dengan perbuatan keji itulah mereka mencari nafkah dan mendapat  kemuliaan di dunia. Amat buruklah apa yang mereka kerjakan.
Sehingga banyak orang mempertanyakan kinerja para pemburu aib itu.  Apa sebenarnya tujuan dari mereka untuk memburu berita? Apa hasil yang  mereka dapatkan darinya?. Benarkan orang-orang dapat mengambil manfaat  dari hasil jerih payah mereka menjatuhkan kemuliaan orang lain?. Dalih  mereka adalah kami melakukan ini dengan niat dan tujuan yang baik dan  untuk mendatangkan kemashlahatan bagi masyarakat luas. Sebab masyarakat  mesti mengetahui kejadian yang sebenarnya dan layak mengkonsumsinya.  Padahal berapa banyak manusia melakukan suatu keburukan dengan dalih  kebaikan, dan tiada yang mereka dapat dan hasilkan melainkan keburukan  pula.
Ghibah ini ternyata tidak hanya beredar di masyarakat awam saja.  Tetapi juga merambah dunia orang-orang yang sedang menuntut dan mencari  ilmu agama atau bahkan juga orang yang telah dikenal akan keilmuannya.  Ilmu yang mereka pelajari itu ternyata belum dapat melindungi atau tidak  mampu menjaga mereka dari kejahatan ghibah ini. Subhaanallah.
Masih banyak dijumpai majlis-majlis yang hanya disibukkan  membicarakan keburukan, kekurangan atau sisi negatif seseorang tanpa  memiliki tujuan untuk menarik mashlahat dunia dan akhirat bagi mereka  dan orang lain. Atau juga didapati, setelah selesai bermajlis, diantara  mereka ada berkumpul membuat halakoh lalu disitu digiatkan  dengan menggunjing orang lain. Dengan penuh semangat di antara mereka  membuka kedok aib, keburukan atau berbagai kekurangan seseorang atau  komunitas lainnya dengan jelas dan gamblang tanpa perasaan bersalah dari  barat sampai timur. Dan orang-orang disekitarnyapun dengan penuh  antusias mendengarkan celoteh tersebut dengan tersenyum dan tertawa  lebar.
Dan bahkan ada yang sampai terbawa perasaan dan terhanyut emosi  sehingga ikut mencela dan membencinya. Tanpa berusaha untuk mengecek  atau tabayyun kepada orang yang terghibah tersebut, apakah  tuduhan itu benar atau tidak?. Dan terkadang terdapat keanehan, yakni  para konsumen dan penikmat ghibah itu sendiri tidak mengenal secara  pasti dan masih asing terhadap objek ghibahnya tersebut.
Adakalanya ketika sang ustadz mereka lewat dihadapan mereka yang  sedang menggunjing, ia lewat tanpa menegur dan mengingatkan mereka akan  keburukan dan kejahatan ghibah tersebut. Terkadang iapun ikut tersenyum  penuh arti dan malah berperan serta di dalamnya. Jika demikian perilaku  kaum pengajian, maka bagaimana dengan kaum awamnya??. Al-‘Iyaadzu  billah.
Kebiasaan buruk ini tidak hanya terjadi di satu tempat saja, hampir  di semua sudut majlis -meskipun tidak semuanya dengan rahmat Allah  -Subhanahu wa ta’ala- dapat dijumpai kumpulan ini, dan kadang dengan  sendirinya terbentuk menjadi komunitas ghibah atau ngrumpi. Terkadang jika ada salah seorang anggotanya tidak dapat atau tidak mau  lagi berkumpul bersama mereka oleh suatu sebab, maka anggota yang  lainnya akan menggunjingnya atau bahkan mengucilkannya. Sungguh suatu  fenomena yang sangat ironis dan amat patut disayangkan.
Tak sedikit juga dijumpai satu keluarga (yang mengaku-ngaku sangat  paham agama) yang menghabiskan sisa waktu mereka untuk menggunjing aib  seorang muslim bahkan lebih. Terkadang ada seorang anak membawa kabar  kepada ayah, ibu atau saudaranya yang lain akan keburukan seseorang  muslim, lalu mereka menyantapnya bersama-sama dengan penuh kenikmatan  laksana menikmati nasi berkat dari suatu undangan. Atau seorang  ibu atau ayah yang membawa berita aib baru seorang muslim lainnya lalu  menyuapi anak-anaknya dengannya laksana induk burung menyuapi  anak-anaknya yang masih piyik. Atau bahkan di antara mereka ada  yang tak segan-segan pula menggunjing besan, mertua, menantu, ipar,  atau keluarga dari pasangannya masing-masing tanpa belas kasih.  Subhaanallah amat buruk apa yang mereka kerjakan itu.
Semuanya itu hanyalah kenikmatan hawa nafsu mereka belaka lantaran  kebencian, kedengkian, dendam membara dan kelemahan iman dan kedangkalan  ilmu mereka semata. Tapi mana mungkin mereka mau mengakuinya.
Seandainya mereka memanfaatkan waktu luang itu untuk hal-hal yang  lebih positif dan bermanfaat, tentu hal itu akan lebih baik dan berguna.  Semisal, merawat dan mendidik anak, melayani dan berbakti kepada suami,  membuat makanan atau penganan yang dapat dikonsumsi oleh keluarga,  bersilaturahmi kepada kerabat dan sahabat dengan bersama atau seidzin  suami, membersihkan dan merapikan rumah dan lain sebagainya dari  kewajiban para wanita. Atau melanjutkan mencari nafkah, bercengkrama  dengan anak dan istri, melindungi dan mendidik keluarga, membaca dan  menghafal alqur’an dan hadits dan lain sebagainya dari kewajiban kaum  pria.
Banyak di antara kaum muslimin yang giat dalam mengamalkan beraneka  ibadah, berupa sholat malam atau dluha, shoum senin-kamis atau shoum bayadl,  bersedekah, membaca alqur’an bahkan menghafalnya, menunaikan ibadah  haji atau umrah, menyantuni anak yatim dan kaum dlu’afa dan lain  sebagainya dari berbagai macam ibadah. Atau telah mampu mengenakan  pakaian muslimah, memelihara jenggot, tinggal di perumahan komunitas  muslim dan selainnya yang menunjukkan ciri khas muslim. Atau juga telah  mampu meninggalkan berbagai perbuatan maksiat, berupa kemusyrikan,  bid’ah, minum khamer, berjudi ataupun berzina dan sejenisnya. Namun  sayangnya, mereka tidak mampu atau mungkin tidak mau berusaha untuk  menjauhkan diri, meninggalkan dan menanggalkan ghibah ini. Padahal   boleh jadi sebahagian besar mereka ada yang telah mengetahui bahwa  ghibah itu juga termasuk kaba’ir yaitu dosa-dosa besar.
Demikian fenomena buruk yang telah terjadi dan jelas tergambar pada  masa kini, yang sebenarnya penjelasannya itu telah tertuang di dalam  ayat-ayat alqur’an dan hadits-hadits Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa  sallam-, sebagaimana akan datang dalil-dalilnya.
DEFINISI GHIBAH
Agar setiap muslim tidak ragu dan rancu terhadap istilah ghibah, ada  baiknya dijelaskan disini akan definisi ghibah secara syar’i. Sebab jika  ia telah mengetahui dengan jelas akan makna dan maksudnya maka  mudah-mudahan ia dapat menjauhkan diri dan menghindar darinya,  sebagaimana dalam kaidah,
Berkata seorang penyair [Ahkaam al-Jana’iz halaman 305 dan Mu’jam al-Bida’ oleh Ro’id bin Bashriy halaman 6],
عَرَفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ          لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ
وَ مَنْ لاَ يَعْرِفِ اْلخَيْرَ       مِنَ الشَّرِّ يَقَعُ فِيْهِ
Aku mengetahui keburukan bukan untuk mengerjakan keburukan
Tetapi untuk menghindarinya
Barangsiapa yang tidak mengetahui kebaikan dari keburukan
Maka ia akan jatuh terjerumus ke dalamnya
عن حذيفة بن اليمن يَقُوْلُ: كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ  رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنِ اْلخَيْرِ َو كُنْتُ أَسْأَلُهُ  عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةً أَن يُدْرِكَنىِ
Dari Hudzaifah bin al-Yaman radliyallahu ‘anhu berkata, “Orang-orang  bertanya kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang  kebaikan sedangkan aku bertanya kepadanya tentang keburukan karena aku  khawatir keburukan itu akan menimpaku”. [HR al-Bukhooriy: 3606, 7084, dan lafazh ini baginya, Muslim: 1847, Ahmad:  V/ 386-387, 403, 406, Abu Dawud: 4246 dan Ibnu Majah: 3979. Berkata  asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim:  1231, Shahih Sunan  Abu Dawud: 3571, Shahih Sunan Ibnu Majah: 3214,  Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2994, Silsilah al-Ahadits  ash-Shahihah: 1791  dan Misykah al-Mashobih: 5382].
Amat bijak, jika setiap muslim mengetahui berbagai keburukan yang  telah diuraikan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rosulullah Shallallahu  ‘alaihi wa sallam di dalam alqur’an dan hadits-hadits yang shahih,  khususnya masalah ghibah ini. Namun keingintahuannya itu bukan untuk  pengamalan tetapi untuk penghindaran dan mencegah orang lain dari  melakukannya. Dari sebab itu banyak para ulama yang menyusun kitab yang  berisi himpunan berbagai macam dosa-dosa besar dan kecil, atau paling  tidak, membuat bab-bab tersebut di dalam kitab mereka.
Pun demikian akan halnya ghibah, setiap hamba muslim mesti dan  sepatutnya mempelajari dan memahami ghibah dan hal yang berkaitan  dengannya serta akibat buruk yang dapat ditimbulkan darinya di dunia dan  akhirat. Agar ia senantiasa mawas diri dan menjauh darinya serta  semampu mungkin mencegahnya berada di sisi dan lingkungannya.
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah mendefinisikan ghibah dengan jelas di dalam sabdanya berikut ini,
  عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ  مَا اْلغِيْبَةُ؟ قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيْلَ:  أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فىِ أَخِي مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ  مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ  فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwasanya pernah ditanyakan,  “Wahai Rosulullah, apakah ghibah itu?”. Beliau menjawab, “Kamu   menceritakan saudaramu apa yang dia tidak suka”. Ditanyakan lagi,  “Bagaimana pendapatmu, jika pada saudaraku itu seperti apa yang aku  katakan?”. Beliau menjawab, “Jika ada padanya sebagaimana yang kamu  katakan berarti kamu telah meng-ghibahnya, tetapi jika tidak ada  padanya, maka berarti kamu telah mem-buhtannya”. [HR Muslim: 2589, Abu Dawud:  4874, at-Turmudziy: 1935,  ad-Darimiy: II/ 299 dan Ahmad: II/ 384, 386. Berkata asy-Syaikh  al-Albaniy: shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 1806, Shahih  Sunan at-Turmudziy: 1578, Shahih Sunan Abi Dawud: 4079, Shahih  al-Jami’ ash-Shaghir: 86, 4187, Misykah al-Mashobih: 4828 dan  Ghoyah al-Maram: 426]. 
Bercermin riwayat hadits di atas, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa  sallam telah menerangkan arti ghibah ketika ditanya oleh para shahabat  radliyallahu ‘anhum, yakni,
إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ
“Jika ada padanya sebagaimana yang kamu katakan berarti kamu telah meng-ghibahnya”.
Atau di dalam riwayat lainnya di atas,
اْلغِيْبَةُ ذِكْرُكَ أَخَاكَ  بِمَا يَكْرَهُ
Ghibah adalah engkau menyebutkan tentang saudaramu dengan hal-hal yang tidak ia sukai.
Atau di dalam riwayat yang lain,
اْلغِيْبَةُ أَنْ تَذْكُرَ الرَّجُلَ بِمَا فِيْهِ مِنْ خَلْفِهِ
Ghibah adalah engkau menyebutkan (menceritakan) sesuatu yang ada pada seseorang di belakangnya (tanpa ia ketahui). [HR al-Imam as-Suyuthiy di dalam Zawa’id al-Jami’  dari riwayat al-Khara’ithiy di dalam Masawiy al-Akhlak dari al-Muthallib  bin Abdullah bin Hanthob secara marfu’.Berkata asy-Syaikh al-Albaliy:  shahih, sebagaimana di dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4186 dan  Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1992].
Ketika menafsirkan ayat yang berbunyi, “Janganlah kalian saling meng-ghibah satu dengan lainnya”  (و لا يغتب بعضكم بعضا ) berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy  hafizhohullah, “Yakni janganlah seseorang diantaramu menceritakan  saudaranya ketika sedang ghaib (tidak berada ditempat) dengan apa yang  tidak disukainya”. [Aysar at-Tafasir:V/ 130].
Berkata al-Imam Ibnu al-Atsir rahimahullah, “Ghibah adalah seseorang  diceritakan tentang keburukannya pada saat sedang tidak berada di  tempat, jika (keburukan itu) ada padanya. Tetapi bila engkau  menceritakannya dengan apa yang tidak ada padanya (yakni keburukannya)  maka itu adalah buhtan”. [An-Nihayah fii Ghorib al-Hadits wa al-Atsar: III/ 399].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Ghibah  adalah menyebutkan aib (saudaramu) tatkala ia sedang ghaib (tidak berada  di tempat tersebut). Oleh sebab itulah (saudaramu) yang ghaib itu  diserupakan dengan mayat. Lantaran ia tidak mampu untuk membela atau  mempertahankan dirinya. Demikian pula si mayat itu, tidak mengetahui  bahwa dagingnya sedang dimakan sebagaimana orang yang hidup tidak  mengetahui perbuatan ghibah (yang ditujukan kepadanya) oleh para pelaku  ghibah”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 6].
Jadi ghibah adalah engkau menceritakan aib atau kekurangan saudaramu  yang tidak ia sukai sedangkan ia tidak berada di tempat itu, dan aib  atau kekurangan tersebut benar-benar ada pada saudaramu itu.
Jika aib atau kekurangan itu tidak ada, tetapi hanya berupa dugaan,  tuduhan atau rekayasamu semata, maka itu adalah buhtan yang mengandung  unsur dusta dan fitnah.
HUKUM GHIBAH
Supaya lebih jelas, tidak bias dan samar, perlu dijelaskan akan hukum  ghibah ini. Alqur’an yang mulia dan hadits-hadits yang shahih telah  banyak mengungkapkan akan bahaya dan kerusakan ghibah ini. Maka dari itu  para ulamapun tidak segan dan sungkan meluangkan waktu dan kesempatan  untuk berkomentar tentang hukum-hukumnya.
    وَ لاَ يَغْتَب بَّعْضُكُمْ بَعْضًا أَ يُحِبُّ  أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُـلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَ  اتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Dan janganlah kamu menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang  diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka  tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.  Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. [QS.  Al-Hujurat/ 49: 12].
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Di dalam ayat ini  terdapat larangan ghibah yang telah di jelaskan oleh Pembuat syariat”.  [Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: IV/ 257].
Katanya lagi, “Ghibah itu diharamkan sesuai dengan ijmak (kesepakatan  para ulama). Hal itu tidak dikecualikan melainkan apa yang telah rajih (kuat) mashlahatnya sebagaimana di dalam kaidah jarh dan ta’dil serta pemberian nashihat”. [Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: IV/ 258].
Berkata al-Imam al-Qurthubiy rahimahullah, “Menurut ijmak, bahwasanya ghibah itu termasuk kabaa’ir (dosa-dosa besar). Wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala  darinya”. [Lihat Tafsir al-Qurthubiy tafsir surat al-Hujurat, Fiqh  ad-Da’wah wa Tazkiyyah an-Nufus oleh asy-Syaikh Husain bin Audah  al-Awayisyah halaman 430].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Diharamkannya ghibah dan namimah”. [Aysar at-Tafasir:V/ 132].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Di dalam  ayat tersebut terdapat larangan ghibah, yaitu engkau menyebutkan tentang  apa yang ada pada saudaramu dengan apa yang ia tidak suka. Namun jika  engkau menyebutkannya tentang apa yang tidak ada padanya, maka itu  namanya buhtan”. [Bahjah an-Nazhirin Syarh Riyadl ash-Shalihin:  III/ 6].
Berkata Zarkasyi rahimahullah, “Sungguh aneh orang yang beranggapan  bahwa makan bangkai itu merupakan dosa besar namun tidak beranggapan  bahwa ghibah itu seperti itu (pula). Padahal Allah telah menempatkannya  bagai memakan bangkai daging manusia. Hadits-hadits tentang perintah  waspada dari ghibah ini sangat luas sekali, yang menunjukkan atas  kerasnya larangan ghibah”. [Subul as-Salam: IV/ 351].
عن ابن مسعود رضي الله عنه قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صلى  الله عليه و سلم فَقَامَ رَجُلٌ (أي غَابَ عَنِ اْلمـَجْلِسِ) فَوَقَعَ  فِيْهِ رَجُلٌ مِنْ بَعْدِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم  لِهَذَا الرَّجُلِ: َتخَلَّلْ! فَقَالَ: وَ مِمَّ أَ َتَخَلَّلُ ؟ وَ مَا  أَكَلْتُ  لَحْمًا قَالَ: إِنَّكَ أَكَلْتَ لَحْمَ أَخِيْكَ
Dari Ibnu Mas’ud radlyillahu ‘anhu berkata, “kami pernah bersama Nabi  Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bangkit berdirilah seseorang pria  (pergi meninggalkan majlis). Maka tiba-tiba sepeninggalnya, ada  seseorang mencelanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada  orang tersebut, “Bersihkan (sela-sela gigimu)!”. Lalu ia bertanya,  “Dari apa aku membersihkannya? padahal aku tidak makan daging”. Beliau  bersabda, “Sesungguhnya engkau telah memakan daging saudaramu”. [HR ath-Thabraniy di dalam al-Mu’jam al-Kabir.  Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih. Lihat Ghoyah al-Maram: 428].
Dari Qois berkata, “Amr bin al-Ash pernah berjalan bersama beberapa  orang dari sahabatnya. Lalu ia melewati bangkai seekor bighol (Hewan  peranakan kuda dengan himar/ keledai ) yang telah membengkak. Lalu ia  berkata,
وَ اللهِ لَأَنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ هَذَا حَتىَّ  يَمْلَأَ بَطْنَهُ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ مُسْلِمٍ
“Demi Allah, seseorang diantara kalian makan sebagian dari bangkai  ini sehingga memenuhi perutnya adalah lebih baik daripada makan daging  seorang muslim”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Bukhoriy di dalam  al-Adab al-Mufrad: 736. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: sanadnya shahih,  lihat  Shahih al-Adab al-Mufrad: 565].
Umat ini telah bersepakat akan haramnya bangkai hewan ternak,  sebagaimana telah termaktub di dalam alqur’an yang mulia (Lihat alqur’an  surat al-Baqarah/ 2 ayat 173 dan an-Nahl/ 16 ayat 115) dan  hadits-hadits yang telah tsabit dari Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa  sallam. Namun terhadap kemuliaan seorang muslim, banyak di antara mereka  yang masih menganggap biasa dan bahkan menghalalkannya. Padahal merusak  kehormatan muslim dengan cara meng-ghibah, yang telah dimisalkan oleh  Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam alqur’an dan Rosulullah Shallallahu  ‘alaihi wa sallam  di dalam hadits  dengan istilah memakan dagingnya  yang telah mati adalah lebih haram lagi. Sehingga Amr bin al-Ash  radliyallahu ‘anhu berpendapat memakai bangkai seekor bighol itu lebih  baik daripada mengghibahi seorang muslim.
Oleh sebab itu, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan  di dalam haditsnya tentang keharaman darah, harta dan kemuliaan seorang  muslim bagi muslim yang lainnya. Sehingga seorang muslim dilarang untuk  menumpahkan darah saudaranya dengan cara memukul, meninju, menendang,  menusuk dan lain sebagainya. Mereka juga dilarang untuk saling mengambil  harta saudaranya, dengan cara menipu, mencuri, mencopet, membegal,  merampok dan lain sebagainya. Pun demikian, mereka dilarang untuk saling  merusak kehormatan dan kemuliaan saudaranya dengan cara meng-ghibah,  mengadu domba (namimah), fitnah (buhtan) dan lain sebagainya.  Sebagaimana disebutkan di dalam hadits berikut ini,
عن أبى هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله  عليه و سلم قَالَ: كُلُّ اْلمـُسْلِمِ عَلىَ اْلمـُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ  وَ مَالُهُ وَ عِرْضُهُ
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rosulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap muslim terhadap muslim  yang lain adalah haram darah, harta dan kemuliaannya”. [HR Muslim: 2564, Abu Dawud: 4882, at-Turmudziy:  1927, Ibnu Majah: 3933 dan Ahmad: II/ 277, 311, 360. Berkata asy-Syaikh  al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan Abii Dawud: 4085, Shahih  Sunan at-Turmudziy: 1572, Shahih Sunan Ibni Majah: 3177, Irwa’  al-Ghalil: 2450, Shahih al-Jaami’ ash-Shaghir: 6706, 7242 dan  Misykah al-Mashobih: 4959].
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-utsaimin rahimahullah  [Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah halaman 377], “Diharamkannya kehormatan  seorang muslim yaitu mengghibahinya. Maka mengghibahi muslim itu  hukumnya haram dan ia termasuk dari dosa-dosa besar. Sebagaimana  dikatakan oleh Ibnu Abdilqowwiy di dalam kumpulan syairnya,
وَ قَدْ قِيْلَ صُغْرَى غِيْبِةٌ وَ نَمِيْمَةٌ    وَ كِلْتَاهُمَا كُبْرَى عَلَى نَصِّ أَحْمَدَ
Sungguh dikatakan ghibah dan namimah itu dosa kecil
Padahal keduanya itu dosa besar sesuai dengan nash Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Abu Bakrah radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada waktu khutbahnya pada hari nahar di Mina di waktu haji wada’,
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَ أَمْوَالَكُمْ وَ أَعْرَاضَكُمْ  عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فىِ بَلَدِكُمْ هَذَا فىِ  شَهْرِكُمْ هَذَا أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ
“Sesungguhnya darah, harta dan kemuliaan kalian adalah haram  sebagaimana haramnya hari ini, di negeri ini, di bulan ini. Tidakkah aku  telah menyampaikannya?”. [HR al-Bukhoriy:  67, 105, 1741, 3197, 4406, 4662, 5550, 7078, 7447, Muslim: 1679 dan Ibnu  Majah: 3931. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan  Ibni Majah: 3176 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2068].
Berkata asy-Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Kesucian  jiwa, harta dan kehormatan muslim itu lebih tinggi di sisi Allah  daripada kesucian negeri (Mekkah), bulan (Dzulhijjah) dan hari (Nahar)”.  [Bahjah an-Nazhirin: III/ 24].
Berkata al-Imam al-Mubarakfuriy rahimahullah, “Yaitu sebahagian  kalian (haram) melakukan pelanggaran terhadap darah, harta dan  kehormatan (harga diri) sebahagian yang lain pada hari-hari selainnya  (yaitu di luar bulan haram). Sebagaimana haramnya kalian melakukan  pelanggaran pada hari ini”. [Tuhfah al-Ahwadziy: VI/ 314].
Nash-nash dan penjelasannya di atas dengan jelas menerangkan akan  keharaman kehormatan seorang muslim, yang tidak boleh dilanggar oleh  muslim yang lain, dan bahkan disejajarkan dengan kemuliaan hari nahar,  negeri Mekkah dan bulan Dzulhijjah di waktu musim haji. Kemuliaan hari  nahar, bulan Dzulhijjah dan tanah Mekkah haram dilanggar dengan  melakukan berbagai perbuatan munkar, misalnya berupa berburu, membunuh  binatang, saling berbantahan, berkata-kata keji, berperang dan  sebagainya. Maka kehormatan seorang muslim itupun haram dilanggar dengan  melakukan ghibah, buhtan, namimah dan yang sejenisnya
Disamping itu Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah  menggolongkan perbuatan merusak kehormatan seorang muslim sebagai  perkara riba. Sebab seringkali orang yang meng-ghibah itu sangat  berlebihan di dalam menceritakan keburukan atau kesalahan orang yang  dighibahinya. Atau juga terkadang orang yang dighibah itu membalas  ghibah dengan ghibah yang lebih merusak dan mengerikan. Jika ada  seseorang mengghibah dengan menyebutkan dua jenis keburukan seseorang,  maka seringkali orang itu membalas dengan menceritakan keburukan si  pengghibah dengan yang lebih banyak dan lebih jelek dari itu,  sebagaimana dalil berikut ini,
عن سعيد بن زيد عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قال:  إِنَّ مِنْ أَرْبىَ الرِّبَا اْلاِسْتِطَالَةَ  فىِ عِرْضِ اْلمـُسْلِمِ  بِغَيْرِ حَقٍّ
Dari Sa’id bin Zaid dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Sesungguhnya sebahagian dari riba yang paling besar adalah mengulurkan  (lisan) terhadap kehormatan seorang muslim tanpa hak”. [HR Abu Dawud: 4876. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:  shahih, lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 4081, Shahih al-Jami’  ash-Shaghir: 2203, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1433, 1871,  3950 dan Misykah al-Mashobih: 5045].
Al-Allamah Syamsul Haqqil ‘Azhim Abadi rahimahullah berkomentar, “Arbar riba’ adalah yang paling banyak bahayanya dan yang paling keras pengharamannya. Istitholah adalah mengulurkan (menjulurkan) lisan terhadap kehormatan muslim yakni  merendahkannya, merasa tinggi atasnya dan melakukan ghibah terhadapnya,  semisal tuduhan (berzina) atau celaan. Hanyasaja hal ini lebih keras  pengharamannya, sebab kehormatan itu adalah sesuatu yang paling mulia  (bagi seseorang) lebih daripada jiwa dan harta”. [Aun al-Ma’bud: XIII/  152].
Berkata al-Baidlowiy rahimahullah, “Istitholah (mengulurkan lisan) pada kehormatan seorang muslim adalah dengan  menjelek-jelekkannya lebih dari apa yang seharusnya dikatakan kepadanya  atau lebih banyak dari apa yang dirukhshoh (diberi keringanan) baginya.  Oleh sebab itulah, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah  mengumpamakannya dengan riba dan memasukkannya ke dalam bagiannya, lalu  menjadikannya sebagai riba yang paling besar. Sebab hal ini lebih banyak  mudlaratnya dan lebih besar kerusakannya. Kehormatan secara syar’i dan  logika adalah lebih mulia pada diri seseorang dibandingkan harta dan  juga lebih besar bahayanya daripada harta. Oleh sebab itu syariat telah  menetapkan untuk menerangkan secara terbuka tentang merusak kehormatan  apa yang tidak ditetapkan pada perkara merampas harta”. [Faidl  al-Qodir: II/ 531].
عن أبي برزة الأسلمي قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم :  يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَ لَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ  قَلْبَهُ لاَ تَغْتَابُوا اْلمـُسْلِمِيْنَ وَ لاَ تَتَّبِعُوْا  عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ  عَوْرَتَهُ وَ مَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فىِ بَيْتِهِ
Dari Abu Barzah al-Aslamiy radliyallahu ‘anhu berkata, telah bersabda  Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai golongan orang yang  beriman dimulutnya tetapi iman itu belum masuk ke dalam hatinya.  Janganlah kalian meng-ghibah kaum muslimin dan jangan kalian  mencari-cari aib mereka. Barangsiapa yang mencari-cari aib mereka, maka  Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang dicari-cari aibnya  oleh Allah, maka Allah akan membongkar (aib)nya yang ada di rumahnya”.   [HR Abu Dawud: 4880, at-Turmudziy: 2032,  Ahmad: IV/ 421, 424 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:  hasan shahih, lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 4083, Shahih Sunan  at-Turmudziy: 1655, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7984, 7985, Misykah  al-Mashobih: 5044 dan Ghoyah al-Maram: 420].
Berkata Al-Allamah Syamsul Haqqil ‘Azhim Abadi rahimahullah, “Di  dalam hadits ini terdapat peringatan bahwa meng-ghibah (menggunjing)  muslim itu merupakan syiarnya orang munafik bukan mukmin”. [‘Aun al-Ma’bud: XIII/ 153].
Dalil ini dengan jelas melarang  dan diharamkannya perbuatan ghibah  dan mencari-cari atau menyelidiki aib kaum muslimin (tajassus). Dan  orang yang melakukannya digolongkan sebagai orang yang iman di mulut  namun tiada iman di hati, dan ini merupakan salah satu sifat dari  beberapa sifat kaum munafikin.
Ringkasnya, melakukan perbuatan ghibah itu yakni menyebutkan dan  menceritakan keburukan dan aib seseorang yang memang ia kerjakan itu,  hukumnya adalah haram, kecuali yang dikecualikan. Insyaa Allah akan  datang penjelasannya.
Sebagaimana kamu tidak suka dighibahi orang, maka hendaklah kamupun  membenci perbuatan mengghibahi orang lain. Sebagaimana dalam satu  ungkapan, “Apabila kamu tidak ingin diludahi orang maka jangan suka meludahi orang lain”.
HUKUM MENG-GHIBAH ORANG KAFIR
Setelah dipahami akan haramnya mengghibahi orang muslim selain yang  dikecualikan. Agar lebih jelas dalam sikap dan tindakan, maka berikut  ini akan dibawakan beberapa keterangan dari para ulama tentang hukum  menggibahi orang kafir dari kalangan Yahudi, Nashrani, pemeluk agama  lainnya selain Islam atau muslim yang telah keluar dari Islam.
Berkata al-Imam ash-Shan’aniy rahimahullah, “Tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “saudaramu” (أخاك) yaitu saudara seagama, hal ini membuktikan bahwasanya selain mukmin itu boleh dighibah”. [Subul as-Salam: IV/ 351].
Berkata Ibnu al-Mundzir rahimahullah, “Di dalam hadits ini terdapat  dalil bahwasanya orang yang bukan saudara (seagama) seperti yahudi,  nashrani dan seluruh pemeluk agama lainnya dan orang yang bid’ahnya  telah mengeluarkannya dari Islam itu tidak ada ghibah baginya  (maksudnya; tidak berdosa mengghibahi mereka)”. [Subul as-Salam: IV/  351].
Ketika menjelaskan hadits dari Itban bin Malik radliyallahu ‘anhu  tentang orang yang mencela Malik bin Dukhsyum radliyallahu ‘anhu dan  menuduhnya sebagai orang munafik. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  melarangnya seraya bersabda, “Tidakkah engkau tahu bahwasanya ia sholat  dalam rangka mencari ridlo Allah”. Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Hadits ini menunjukkan bahwasanya manusia itu apabila tidak seperti  itu maka tidak mengapa mengghibahnya. Orang kafir misalnya, maka tidak  ada pengharaman (larangan) di dalam mengghibahinya. Boleh bagimu untuk  mengghibahnya. Kecuali jika ia mempunyai beberapa kerabat muslim, yang  mereka dapat terganggu dengannya, maka janganlah engkau mengghibahnya.  Tetapi jika tidak (mempunyai kerabat muslim) maka tidak mengapa  mengghibahinya”. [Syarh Riyaadl ash-Shaalihiin: IV/ 172].
HUKUM MENCARI NAFKAH DENGAN MENG-GHIBAH
Setelah dipahami akan haramnya hukum mengghibahi kaum muslimin, maka  bagaimana dengan orang-orang yang menggantungkan hidupnya dengan  ghibah?. Misalnya, para pemburu berita buruk tersebut, presenter atau  hostnya, dan semua orang yang terkait dengan proses terjadinya ghibah  tersebut.
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhabarkan akan  munculnya suatu masa, dimana pada masa itu orang-orang tidak lagi  memperdulikan dari mana mereka mendapatkan harta yang dapat menghidupi  diri dan keluarga mereka.
Apakah harta itu diperoleh dan dikumpulkan dengan cara yang halal,  semisal berniaga menjual barang-barang yang halal dengan cara yang halal  pula, bekerja dengan profesi yang tidak bertentangan dengan syar’iy  dengan cara yang juga sesuai syar’iy dan selainnya.
Ataukah harta itu diraih dan dihimpun dengan cara yang haram, semisal  menjual barang yang haram dengan cara yang haram pula. Sebab menjual  barang haram dengan cara yang halal itu dilarang sebagaimana menjual  barang halal dengan cara yang haram. Maka bagaimana dengan menjual  barang yang haram dengan cara yang haram, tentu lebih besar lagi  larangannya.
Menjual barang yang haram dengan cara yang halal, misalnya menjual  patung, anjing, babi, marus (darah hewan), bangkai, berbagai minuman  keras (khomer), berbagai obat terlarang (narkoba), alat perjudian, dan  semua barang yang diharamkan untuk dikonsumsi dan dimanfaatkan, maka  meskipun dijual-belikan dengan cara yang halal atau sesuai syar’iy maka  hasilnya adalah haram.
Menjual barang halal dengan cara yang haram, misalnya menjual rumah,  kendaraan, buku, beras, minyak goreng atau barang apapun yang halal  tetapi dengan cara yang haram semisal kredit, oplos, monopoli  perdagangan dan sebagainya maka hasilnya juga haram.
Atau juga melakukan beberapa usaha dalam mencari harta dengan cara  yang diharamkan misalnya melakukan riba (rente), mencuri, merampas  harta, membuat uang palsu, membuat barang dengan pemalsuan merek, menipu  dengan memberi hadiah dari merek tertentu padahal tidak pernah ada, dan  lain sebagainya.
Atau juga melakukan usaha-usaha yang telah dilarang oleh Allah  Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,  meskipun untuk dalih kemashlahatan atau kebaikan umat manusia. Misalnya,  membuat acara di televisi atau kolom di koran, tabloid atau majalah  dengan berbagai judul atau thema yang mengupas tentang aib kaum  muslimin. Hal ini telah dijelaskan oleh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi  wa sallam di dalam hadits berikut ini,
عن أبى هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و  سلم: يَأْتىِ عَلىَ النَّاسِ زَمَانٌ مَا يُبَالىِ الْمَرْءُ مَا أَخَذَ  مِنْهُ أَمِنَ اْلحَلاَلِ أَمْ مِنَ اْلحَرَامِ ( وَ فى روَاية: مِنْ  أَيْنَ أَصَابَ اْلمـَالَ مِنْ حَلاَلٍ أَوْ حَرَامٍ)
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa  sallam, “Akan datang suatu masa kepada manusia, dimana seseorang tidak  akan peduli lagi apa yang ia telah ambil apakah dari yang halal ataukah  dari yang haram”. (Di dalam satu riwayat, “Dari mana ia mendapatkan  harta, apakah dari yang halal ataukah dari yang haram”). [HR al-Bukhoriy: 2059, 2083 dan an-Nasa’iy: VII/  243. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan  an-Nasa’iy: 4149, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 8003 dan Misykah  al-Mashobih: 2561].
Berkata Ibnu at-Tin rahimahullah, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  telah mengkhabarkan tentang hadits ini sebagai bentuk perintah waspada  (terhadap umatnya) dari fitnah harta. Ini adalah sebahagian dari  tanda-tanda kenabiannya karena mengkhabarkan tentang beberapa perkara  yang belum terjadi pada masanya”. [Fat-h al-Bariy: IV/ 296-297].
Dalil hadits di atas adalah sebahagian dari tanda-tanda kenabian  Rosul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu beliau memberitakan kepada  umatnya akan munculnya suatu peristiwa yang belum terjadi pada masanya.  Peristiwa itu adalah dengan munculnya masa dimana pada masa itu banyak  manusia mencari dan menghimpun hartanya dengan tidak lagi mempedulikan  dan mempersoalkan asal hartanya itu dari hasil yang halal atau yang  haram. Demi Allah, sungguh-sungguh pada masa sekarang ini sudah banyak  terjadi perkara tersebut. Sebab kata sebahagian mereka, “mencari duit yang haram saja susah, apalagi mencari duit yang halal”. Subhanallah amat buruk apa yang mereka ucapkan itu.
Maka di antara bentuk mencari harta dan mengumpulkannya dengan nama  mencari nafkah adalah menyelidik berbagai keburukan dan kekurangan  seorang muslim atau lebih lalu menyebarkannya kepada khalayak ramai  untuk menjadi santapan yang layak dikonsumsi oleh mereka.
Padahal Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkan  dan melarang makan makanan dari hasil pembayaran dukun, tukang ramal,  menjual anjing, menjual patung dan sejenisnya atau juga dari hasil  melacur.
Jadi profesi dukun dan melacur adalah diharamkan maka uang pembayaran  dari hasil keduanya juga diharamkan untuk  dikonsumsi. Jika demikian  bagaimana dengan ghibah yang telah diharamkan oleh syar’iy, jika setiap  muslim telah mengetahui dan meyakininya haram maka uang hasil dari  perbuatan tersebut juga haram adanya.
Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut,
عن أَبى هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى  الله عليه و سلم: لاَ يَحِلُّ  ثَمَنُ اْلكَلْبِ وَ لاَ حُلْوَانُ  اْلكَاهِنِ وَ لاَ مَهْرُ اْلبَغْيِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, telah bersabda  Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Harga (penjualan) anjing,  upah (bayaran) dukun dan mahar (bayaran) pelacur itu tidak halal”.  [HR Abu Dawud: 3483 dan an-Nasa’iy: VII/ 190.  Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 2975, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4004, 4351 dan Shahih  al-Jaam’ ash-Shaghir: 7640].
عن أبي مسعود رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و  سلم أَنَّهُ نَهَى عَنْ ثَمَنِ اْلكَلْبِ وَ مَهْرِ اْلبَغْيِ وَ حُلْوَانِ  اْلكَاهِنِ
Dari Abu Mas’ud (Uqbah bin Amr) al-Anshoriy radliyallahu ‘anhu dari  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau telah melarang dari  harga (penjualan) anjing, mahar (bayaran) pelacur dan upah (bayaran)  dukun. [HR al-Bukhoriy: 2237, 2282, 5346,  5761, Muslim: 1567, Abu Dawud: 3481, at-Turmudziy: 1276, Ibnu Majah:  2159, an-Nasa’iy: VII/ 189, 309 dan Ahmad/ IV: 118-119. Berkata  asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 932,  Shahih Sunan Abi Dawud: 2972, Shahih Sunan an-Nasaa’iy: 4003,  Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6951, Irwa’ al-Ghalil: 1291 dan  Misykah al-Mashobih: 2764].
Dua hadits di atas menerangkan tentang dilarangnya mengambil harga  pembayaran anjing, dukun dan melacur kemudian memanfaatkannya untuk  memberi nafkah untuk diri dan keluarganya. Anjing adalah binatang yang  diharamkan untuk dikonsumsi, dukun adalah perbuatan yang dilarang yang  termasuk ke dalam perbuatan syirik dan melacur juga adalah perbuatan  yang dilarang lantaran mengandung perzinahan. Maka uang atau harta yang  dihasilkan darinya juga diharamkan untuk dimanfaatkan sebagai pemberian  nafkah.
Karena itulah Allah Subhanahu wa ta’alatatkala mengharamkan memakan  atau mengerjakan suatu usaha kepada suatu kaum, maka Allah Azza wa Jalla  haramkan pula harga atau hasil usaha tersebut atas mereka untuk  pemberian nafkah kepada keluarga mereka itu.
Dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma berkata, “Aku pernah mendengar  Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk di rukun (yamani).  Ia berkata, “Lalu beliau mengangkat pandangannya ke atas langit dan  tertawa. Lalu beliau bersabda,
لَعَنَ اللهُ اْليَهُوْدَ –ثَلاَثًا- إِنَّ اللهَ حَرَّمَ  عَلَيْهِمْ الشُّحُوْمَ فَبَاعُوْهَا وَ أَكَلُوْا أَثْمَانَهَا وَ إِنَّ  اللهَ إِذَا حَرَّمَ عَلىَ قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ  ثَمَنَهَا
“Allah melaknat orang-orang Yahudi –tiga kali-, sesungguhnya Allah  telah mengharamkan lemak atas mereka. Maka merekapun menjualnya dan  memakan harga (penjualannya) tersebut. Sesungguhnya Allah jika telah  mengharamkan memakan sesuatu kepada suatu kaum, maka Allah haramkan pula  harga (penjualannya) atas mereka”. [HR Abu  Dawud; 3488 dan Ahmad: I/ 247, 293, 322. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:  Shahih, lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 2978 dan Shahih al-Jami’  ash-Shaghir: 5107].
Berkata al-Imam ash-Shan’aniy rahimahullah, “Di dalam hadits ini  terdapat dalil bahwa apabila Allah telah mengharamkan menjual sesuatu  maka diharamkan pula harga penjualannya. Dan semua siasat yang  menghubungkan kepada penghalalan yang haram maka itu adalah batil”.  [Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram: III/ 8].
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Di dalam hadits Ibnu  Abbas radliyallahu ‘anhuma tersebut terdapat dalil akan gugurnya siasat  dan sarana kepada yang diharamkan. Semua yang diharamkan oleh Allah  kepada para hamba maka menjualnyapun haram lantaran diharamkan harga  (penjualannya). Maka tidak boleh keluar dari keumumannya ini kecuali  (jika) dikhususkan oleh dalil”. [Nail al-Authar: V/ 169].
Maka ringkasnya, mencari nafkah dengan cara melakukan ghibah bahkan  fitnah itu dilarang dan diharamkan oleh dalil-dalil syar’iy. Dan masih  banyak ladang usaha halal lainnya yang dapat ditekuni oleh setiap muslim  untuk memberikan nafkah kepada keluarganya. Wallahu a’lam bishshowaab.
HUKUM MENDENGARKAN GHIBAH
Setelah dipahami akan haramnya melakukan ghibah, maka bagaimana  halnya dengan mendengarkan ghibah yang dilakukan sebahagian muslim  terhadap muslim yang lain?. Telah datang khabar dari Allah Subhanahu wa  ta’ala di dalam alqur’an tentang salah satu sifat dari beberapa sifat  orang mukmin yaitu ia senantiasa berpaling dan menghindarkan dirinya  dari perkara-perkara yang tidak berguna untuk dirinya di dunia dan  akhirat, apalagi jika perkara-perkara itu dapat menjerumuskannya ke  dalam perbuatan dosa dan kehinaan.
Jadi meninggalkan majlis ghibah adalah salah satu dari sifat kaum  mukminin, sebab ghibah itu tidak hanya perbuatan yang sia-sia namun juga  mengandung dosa dan mengundang dosa-dosa lainnya. Hal ini telah  diisyaratkan di dalam dalil-dalil berikut,
وَ إِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَ قَالُوا  لَنَا أَعْمَالُنَا وَ لَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ لاَ  نَبْتَغى الجَاهِلَينَ
Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka  berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan  bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul  dengan orang-orang jahil”. [QS. Al-Qoshosh/ 28: 55].
   وَ الَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ
Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. [QS. Al-Mukminun/ 23: 3].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,  “Berpalingnya mereka dari hal yang sia-sia yaitu ucapan, perbuatan dan  pemikiran, yang tidak mendapatkan idzin dan ridlo dari Allah.   Berpalingmya mereka darinya yaitu mereka menghindar darinya dan tidak  menoleh kepadanya. Sifat ini mencakup firman-Nya ta’ala, “(Dan  orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang  tiada berguna. QS. Al-Mukminun/23: 3)”. [Aysar at-Tafasir: III/ 505].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Allah  mengkhabarkan dan menyebutkan tentang beberapa sifat dari orang-orang  mukmin di dalam pembukaan surat al-Mukminun. Diantaranya, bahwasanya  mereka berpaling dari kebatilan yaitu mencakup perbuatan syirik dan  selainnya dari beberapa perbuatan maksiat dan apapun yang tidak ada  faidahnya dari perkataan dan perbuatan”. [Bahjah an-Nazhirin: II/ 30].
Berkaitan dengan larangan mendengarkan ghibah, berkata al-Imam  an-Nawawiy rahimahullah, “Ketahuilah bahwasanya ghibah itu sebagaimana  telah diharamkan bagi pelakunya, maka diharamkan pula bagi orang untuk  mendengarkan dan mengakuinya. Wajib bagi siapapun yang mendengar  seseorang mulai melakukan ghibah yang diharamkan untuk melarangnya, jika  ia tidak khawatir akan adanya bahaya yang jelas.
Namun jika ia merasa khawatir, maka wajib baginya mengingkari dengan  hatinya dan memisahkan diri dari majlis ghibah tersebut jika  memungkinkan.
Jika ia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau memotong  percakapan ghibah itu dengan  ucapan yang lain hendaklah ia  melakukannya. Jika ia tidak lakukan maka ia telah berbuat maksiat.
Jika ia mengatakan dengan lisannya, “diamlah” padahal  di dalam hatinya, ia masih menginginkan diteruskan maka perilaku  tersebut adalah suatu kemunafikan yang tidak mengeluarkannya dari dosa.  Seharusnya ia juga membenci ghibah itu dengan hatinya.
Apabila ia terpaksa berada di majlis yang ada ghibahnya dan ia merasa  tidak berdaya untuk mengingkarinya atau ia telah mengingkarinya namun  tidak diterima atau tidak memungkinkan baginya untuk memisahkan diri  darinya, maka haram baginya untuk mendengar dan menyimak ghibah  tersebut. Bahkan hendaklah ia berdzikir kepada Allah Subhanahu wa ta’ala  dengan lisan dan hatinya, atau dengan hatinya saja, atau memikirkan  persoalan yang lain agar ia mempunyai kesibukan (lain) daripada  mendengarkan (ghibah itu). Setelah itu tidak mengapa baginya untuk hanya  sekedar mendengar ghibah tanpa menyimak (yakni tidak berusaha untuk  memperhatikan dan memahami ghibah tersebut) di dalam kondisi seperti  ini. Jika beberapa waktu setelah itu ada kemungkinan baginya untuk  memisahkan diri sedangkan mereka masih terus asyik melanjutkan ghibah  maka wajib baginya untuk memisahkan diri dari mereka.
Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
وَ إِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِى ءَايَاتِنَا  فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِى حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَ إِمَّا  يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْــرَى مَعَ  اْلقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat  Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan  yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini),  maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah  teringat (akan larangan itu). [QS. Al-An’am/ 6: 68]. [Al-Adzkar halaman  339 dan Bahjah an-Nazhirin: III/ 29-30].
Bersamaan dengan itu, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah  menerangkan di dalam haditsnya yang shahih tentang keelokan Islam  seseorang adalah dengan meninggalkan sesuatu yang tiada arti baginya.  Lalu jika ada seorang muslim belum mampu meninggalkan dan menanggalkan  sesuatu yang tidak berguna baginya bahkan mendatangkan kemudlaratan  baginya di dunia ataupun akhirat, maka hal itu menunjukkan bahwa  keislamannya itu masih buruk. Simaklah hadits berikut ini,
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى  الله عليه و سلم: مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ اْلمـَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ  يَعْنِيْهِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, “Telah bersabda  Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Termasuk dari bagusnya  keislaman seseorang itu adalah meninggalkan apa yang tidak berguna  baginya”. [HR at-Turmudziy: 2317, Ibnu Majah:  3976 dan Ahmad: I/ 201 dari al-Husain bin Ali. Berkata asy-Syaikh  al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 1886, Shahih  Sunan Ibni Majah: 3211dan Shahih al-Jami ash-Shaghir: 5911].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Wajib  atas manusia untuk menyibukkan dirinya dengan apa yang di dalamnya  terdapat mashlahat (atau kebaikan), baik dunia (ma’asy) ataupun akhirat (ma’ad).  Dan juga berpaling dari selain itu dengan apa yang tidak dibutuhkan dan  tidak mendatangkan manfaat. Tinggalkan apa yang mendatangkan mudlarat  dan kesusahan. Tidakkah ia merenungkan kebutuhan yang lainnya, karena  hal tersebut termasuk dari kesempurnaan istiqomah”. [Bahjah  an-Nazhirin: I/ 142].
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullah, “al-Imam Nawawiy rahimahullahberkata di dalam bab tahriim simaa’ al-ghiibah (diharamkan  mendengarkan ghibah) ketika menjelaskan bahaya, kerusakan dan dosa-dosa  ghibah, beliau mengakhirinya dengan bab ini yakni haramnya mendengar  ghibah. Maksudnya bahwa manusia itu apabila mendengar seseorang  mengghibah yang lainnya, maka diharamkan baginya untuk mendengar hal  tersebut, bahkan melarangnya dari hal itu dan berusaha untuk  memindahkannya kepada pembicaraan yang lain. Perbuatan ini mendatangkan  pahala yang besar sebagaimana di dalam hadits Abu Darda’ radliyallahu  ‘anhu. Lalu jika orang yang berketetapan mengghibahi manusia itu tetap  dalam ghibahnya maka wajiblah baginya untuk bangkit berdiri dari tempat  tersebut (untuk meninggalkannya). Karena Allah Subhanahu wa ta’ala   telah berfirman,
وَ قَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِى اْلكِــتَابِ أَنْ إِذَا  سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَ يُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ  تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِى حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ  إِذًا مَثْلُهُمْ
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Alqur’an  bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan  diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga  mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu  berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. [QS. An-Nisa’/ 4:  140].
Maka ayat ini menunjukkan bahwasanya manusia itu apabila mendengar  sesuatu yang diharamkan, maka berarti ia berserikat (atau bekerja sama)  dengan orang yang mengerjakan hal yang diharamkan tersebut. Maka dari  sebab itu, wajib baginya untuk bangkit berdiri (untuk meninggalkannya).[Syar-h Riyadl ash-Shalihin: IV/ 171-172 dan al-Adzkar oleh al-Imam  Hawawiy halaman 340].
Benar pula yang dikatakan seorang penyair [Bahjah an-Nazhirin: III/ 30],
وَ سَمْعَكَ صُنْ عَنْ سِمَاعِ اْلقَبْحِ    كَصَوْنِ اللِّسَـانِ عَنِ النُّطْقِ بِهِ
فَإِنَّــكَ عِنْدَ سِــمَاعِ اْلقَبْحِ    شَـرِيْكٌ لِقَـائِلِهِ  فَانْتَـبـِهْ
Jagalah pendengaranmu dari mendengar keburukan
Sebagaimana engkau menjaga lisan dari mengucapkannya.
Sungguh engkau ketika mendengar keburukan
Bersekutu dengan pengucapnya, maka waspadalah.
Seyogyanya bagi seorang muslim untuk senantiasa menjaga  pendengarannya sebagaimana ia menjaga lisannya. Sebab dosa dan kesalahan  itu tidak hanya dihasilkan oleh lisan saja tetapi juga oleh  pendengaran. Allah Azza wa Jalla kelak pada hari kiamat akan meminta  pertanggung-jawaban dari apa yang dilakukan oleh pendengaran,  sebagaimana ayat berikut,
وَ لاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَ اْلبَصَرَ وَ اْلفُؤَادَ كُــلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai  pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,  semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [QS. Al-Isra’/ 17:  36].
Bahkan tidak hanya sebatas menjaga pendengarannya saja, namun juga  diwajibkan bagi seorang muslim yang baik keislamannya untuk mencegah  adanya keburukan-keburukan yang dihasilkan oleh lisan, berupa ghibah,  namimah dan buhtan serta yang sejenisnya, dengan batas kesanggupannya.  Ia harus mempunyai sikap terhadap berbagai keburukan dengan sikap yang  dibenarkan oleh dalil.
Mohon maaf, jika ada kata-kata yang tak layak terucap dan tertulis.  Insyaa Allah, pembahasan tentang ghibah ini akan berlanjut dalam  beberapa pembahasan berikutnya.
Semoga bermanfaat untukku, keluargaku, kerabatku, shahabatku dan kaum muslimin seluruhnya.
 
0 comments:
Post a Comment