KIAT-KIAT MENGHINDAR DARI GHIBAH 
بسم الله الرحمن الرحيم
Jika setiap muslim telah mengetahui akan bahaya ghibah di dunia dan  akhirat sehingga diwajibkan taubat darinya, maka sudah semestinya mereka  waspada dan takut dari terjatuh kedalamnya.
Apalagi pada kenyataannya banyak dari umat manusia dan juga kaum  muslimin yang melakukan ghibah bahkan fitnah, baik yang mereka sadari  ataupun tidak. Oleh sebab itu akan dipaparkan di sini beberapa kiat yang  mudah-mudahan dapat membantu mereka untuk menjauh dan menghindar dari  ghibah, di antaranya adalah,
1). Takut kepada Allah -Subhanahu wa ta’ala- dan siksaan-Nya.
 Hal pokok yang dapat menjauhkan diri dari ghibah adalah ketakwaan dan  rasa takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Jika telah tertanam kokoh  rasa takut pada diri seorang hamba muslim kepada Allah Subhanahu wa  ta’ala maka niscaya ia mudah menghindari berbagai perbuatan yang dapat  menimbulkan marah dan murka dari Allah Azza wa Jalla. Sebab  kemurkaan-Nya itu dapat menyeret seseorang kepada neraka dan siksaan-Nya  dan dijauhkan dari rahmat dan surga-Nya. 
لَهُمْ مِن فَوْقِهِمْ ظُلُلٌ مِنَ النَّارِ وَ مِن  تَحْتِهِمْ ظُلُلٌ ذَلِكَ يُخَوِّفُ اللهُ بِهِ عِبَادَهُ يَا عِبَادِ  فَاتَّقُونِ
Bagi mereka lapisan-lapisan dari api di atas mereka dan di bawah  merekapun lapisan-lapisan (dari api). Demikianlah Allah mempertakuti  hamba-hamba-Nya dengan azab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku hai  hamba-hamba-Ku. [QS. Az-Zumar/ 39: 16].
يَوْمَ تَجِدُ كُــلُّ نَفْسٍ مَّا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ  مُّحْضَرًا وَ مَا عَمِلَتْ مِن سُـوْ ءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَا وَ  بَيْنَهُ أَمَدًا بَعِيدًا وَ يُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ وَ اللهُ  رَءُوفٌ بِاْلعِبَادِ
Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan  (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya. Ia ingin  kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh. Dan Allah  menyuruh kamu waspada terhadap siksa-Nya, dan Allah sangat Penyayang  kepada hamba-hamba-Nya. [QS. Ali Imran/ 3: 30].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairiy hafizhohullah,  “Terdapat kewajiban waspada dari adzab Allah ta’ala dan hal tersebut  dengan cara mentaati-Nya. Terdapat bahayanya kedudukan (seseorang) pada  hari kiamat dan wajibnya mempersiapkan diri untuknya dengan keimanan dan  ketakwaan. [1]
Dengan hujjah dan penjelasannya di atas dapat dipahami bagi setiap  orang memiliki kejernihan hati, kebersihan akal dan kesucian jiwa bahwa  ancaman Allah Subhanahu wa ta’ala yang berupa siksaan dan murkanya itu  amat patut untuk ditakuti dan dikhawatirkan. Dan salah satu perilaku  buruk yang dapat membawa seseorang kepada siksa dan murka-Nya itu adalah  melakukan ghibah dan fitnah.
إِنَّ عَذَابَ رَبِّـكَ كَانَ مَحْذُورًا
Sesungguhnya adzab Rabbmu itu adalah suatu yang (harus) ditakuti. [QS. Al-Isra’/ 17: 57].
Adzab Allah Jalla wa Ala kelak akan diberikan kepada orang-orang yang  berhak mendapatkannya dan akan dijauhkan dari orang-orang yang memang  tidak layak untuk mendapatkannya. Orang yang berhak mendapatkan siksa  dari sebab murka Allah Subhanahu wa ta’ala itu niscaya akan sangat  menderita dan mengalami kesengsaraan yang amat luar biasa. Sebab  bandingan panasnya api di dunia ini saja hanya sepertujuh puluh dari  panasnya api neraka. Maka bagaimana dengan siksaan-siksaan lainnya yang  berbagai jenis di dalam neraka, tentu akan lebih dahsyat dan  mengerikan?. Memang siksaan Allah Tabaroka wa ta’ala itu adalah sesuatu  yang wajib ditakuti dan dihindari.
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله  عليه و سلم قَالَ: نَارُكُمْ هَذِهِ جُزْءٌ مِنْ سَبْعِيْنَ جُزْءًا مِنْ  نَارِ جَهَنَّمَ لِكُلِّ جُزْءٍ مِنْهَا حَرُّهَا
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu  alaihi wa sallam bersabda, “Api kalian ini adalah sepertujuh puluh  bagian dari api neraka Jahannam. Tiap-tiap bagian darinya mempunyai  panasnya”. [HR at-Turmudziy: 2590. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:  shahih]. [2]
Tiap-tiap bagian api neraka itu mempunyai kehebatan maksimal panasnya  api dunia. Jika panasnya api neraka itu ada tujuh puluh kali lipat  panasnya api dunia, sulit dibayangkan kehebatan dan kedahsyatan siksa  api neraka itu bagi para penghuninya. Maka janganlah seorang muslim itu  hanya membayangkan akan kehebatan panasnya api neraka. Tetapi yang  terpenting jika ia telah merasa takut darinya adalah mengimaninya lalu  berusaha untuk melepaskan dan menjauhkan dirinya dari jilatan dan  kobaran api tersebut darinya. Hal tersebut dengan cara menghindari  berbagai perbuatan dosa, di antaranya adalah ghibah, fitnah atau  namimah.
Dikisahkan tentang dua putra nabi Adam Alaihis Salam yakni Qabil dan  Habil ketika terjadi perselisihan di antara mereka. Salah satunya yaitu  Qabil mengancam hendak membunuh saudaranya yaitu Habil, lalu Habil  menyikapinya dengan cara baik lagi benar yakni tidak membalas ancaman  saudaranya tersebut. Sikap elok tersebut timbul dari dirinya lantaran  rasa takutnya kepada Allah Rabb semesta alam semata, bukan karena takut  kepada Qabil atau ancaman kematian yang menantinya. Sebagaimana  dikisahkan oleh Allah Azza wa Jalla di dalam ayat berikut,
لَئِن بَسَطتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِى مَا أَنَا  بِبَاسِطٍ يَدِىَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ إِنِّى أَخَافُ اللهَ رَبَّ  اْلعَالَمِينَ
“Sungguh kalau kamu mengulurkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku,  aku sekali-kali tidak akan mengulurkan tanganku kepadamu untuk  membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb seru sekalian  alam.” [al-Ma’idah/5: 28].
Kaitannya dengan hal ini adalah jika seseorang takut kepada Allah  Subhanahu wa ta’ala, adzab dan neraka-Nya bukan karena khawatir terhadap  yang lainnya, maka hal tersebut akan mendorongnya untuk tidak  mengghibah saudaranya yang muslim. Dari sebab itu meskipun selama ini  ada orang yang mengghibah dan memfitnahnya dan iapun tahu pelakunya maka  ia akan tetap menahan diri dari membalas ghibahnya. Sebab ia tahu akan  akibatnya kelak di hari kiamat yakni neraka dan siksaan-Nya, yang  seringan-ringan siksaan itu adalah seseorang memakai sandal dari bara  api lalu otak kepalanya mendidih.
عن النعمان بن بشير رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم: إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا مَنْ لَهُ  نَعْلاَنِ وَ شِرَاكَانِ مِنْ نَارٍ يَغْلىِ مِنْهَمَا دِمَاغُهُ كَمَا  يَغْلِى اْلمـِرْجَلُ مَا يَرَى أَنَّ أَحَدًا أَشَدُّ مِنْهُ عَذَابًا  وَإِنَّهُ لَأَهْوَنُهُمْ عَذَابًا
Dari an-Nu’man bin Basyir radliyallahu anhu berkata, telah bersabda  Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya penduduk neraka  yang paling ringan siksaannya adalah orang yang mempunyai dua sandal dan  kasut bertali yang terbuat dari api (neraka) lalu otak kepalanya  mendidih dari sebabnya laksana mendidihnya ketel. Sebagaimana terlihat  bahwa seseorang itu merasa mendapatkan adzab yang sangat paling keras  padahal sesungguhnya ia adalah orang yang paling ringan siksaannya”. [HR  Muslim: 213. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [3]
Jika siksaan Allah Subhanahu wa ta’ala yang paling ringan saja  seperti itu maka bagaimana dengan siksaan yang terberat. Tidakkah kita  sebagai hamba-hambaNya merasa takut kepada siksaan-Nya??. 
Ma'adzallah.
2). Khawatir akan adanya hari pembalasan
Begitu pula yang dapat menjauhkan dan menghindarkan setiap muslim  dari melakukan perbuatan aniaya kepada orang lain, termasuk apa yang  dilakukan oleh lisan adalah khawatirnya muslim itu akan adanya hari  pembalasan. Ia yakin bahwa pada hari itu akan dibalas setiap kata yang  diluncurkan dari mulutnya, apakah berupa cacian, celaan, ghibah, fitnah,  namimah, dusta, persaksian palsu dan sebagainya.
مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. [ QS. Qoof/50: 18].
     يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَ أَيْدِيهِمْ وَ أَرْجُلُهُم بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas  mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. [ QS. An-Nur/24: 24 ].
Dua ayat di atas menyebutkan bahwa setiap kata yang diucapkan oleh  seseorang itu akan dicatat oleh malaikat yang senantiasa mengawasi dan  menyertainya dan kelak pada hari kiamat, lisannya akan menjadi saksi  baginya terhadap apa yang pernah diucapkannya selama hidup di dunia.
Lalu jika lisannya itu lebih banyak menghasilkan ucapan buruk dan  perkataan busuk apalagi sampai menzholimi orang lain yang dikarenakan  ghibah, fitnah atau namimah. Maka kehidupannya kelak tidak akan selamat  dan bahagia sebab ia hanya akan menuai berbagai kerugian dan  kesengsaraan, yakni pahala-pahala kebaikannya akan diambil oleh orang  yang dizholiminya, jika ada. Tetapi jika tidak, sebahagian dosa-dosa  kesalahan orang yang dizholiminya itu akan dilimpahkan kepadanya sebagai  balasan atas kejahatan yang telah ia lakukan dan akhirnya ia menjadi  orang-orang yang bangkrut. Maka rugilah ia di dunia dan akhirat,  lantaran perilakunya yang gemar merugikan orang lain, yang sebenarnya  pada hakikatnya orang itu telah merugikan dirinya sendiri.
Pada beberapa bab terdahulu [4] telah dijelaskan tentang bangkrut dan meruginya orang yang gemar  mengghibah saudaranya, sebab pada hari itu setiap makhluk akan diqishos  atau dibalas segala perbuatannya terhadap selainnya. Bahkan jika ada  seekor kambing yang unggul dalam perkelahian dengan saingannya sehingga  mematahkan tanduknya, kelak akan dibalas oleh Allah Jalla Dzikruhu  dengan dikalahkan dan dipatahkan tanduknya seukuran dengan perbuatannya  kepada saingannya selama hidup di dunia. Jika demikian qishosh terhadap  binatang maka bagaimana keadaannya dengan manusia??.
عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله  عليه و سلم قَالَ: لَتُؤَدُّنَّ اْلحُقُوْقُ إِلىَ أَهْلِهَا يَوْمَ  اْلقِيَامَةِ حَتىَّ يُقَادَ لِلشَّاةِ اْلجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ  اْلقَرْنَاءِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwsanya Rosulullah Shallallahu  alaihi wa sallam bersabda, “Benar-benar hak itu akan ditunaikan kepada  para pemiliknya pada hari kiamat, sehingga akan diqishosh bagi kambing  tak bertanduk dari kambing bertanduk”. [HR Muslim: 2582, al-Bukhoriy di  dalam al-Adab al-Mufrad: 183, at-Turmudziy: 2420 dan Ahmad: II/ 235,  323. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [5]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Allah  akan mengqishosh orang yang zhalim dengan cara mengambil  kebaikan-kebaikan orang yang zhalim itu dan keburukan-keburukan orang  yang dizhalimi akan diletakkan kepadanya”. [6]
Jika demikian keadaannya, maka setiap muslim yang ingin meraih  keberuntungan bukan kerugian, kejayaan bukan kebangkrutan dan  kebahagiaan bukan kesengsaraan hendaklah berusaha meminimalkan atau  bahkan menjauhi perbuatan-perbuatan zholimnya kepada orang lain dengan  kadar kesanggupannya. Baik berupa menumpahkan dan meneteskan darah  saudaranya, mengambil dan menguasai hartanya serta merusak dan mengoyak  kehormatannya, terutama perbuatan ghibah, fitnah dan namimahnya.
3). Berilmu dan memahaminya.
Hal lain yang dapat menjauhkan seorang hamba muslim dari perbuatan  ghibah dan fitnah adalah ilmu. Sebab ilmu itulah yang menerangi dan  membimbingnya dari gelapnya kebodohan kepada terangnya pengetahuan.
Dalam gelapnya kebodohan seorang hamba tidak tahu tentang  perkara-perkara yang diwajibkan dan yang diharamkan kepadanya, bodoh  terhadap perintah dan larangan serta tidak paham akan  batasan-batasannya. Jika ia tidak tahu, maka bagaimana mungkin ia dapat  mendatangi perintah dan mengamalkannya dan juga mustahil ia dapat  menjauhi larangan dan meninggalkannya. Maka tak heran, kebanyakan orang  yang terjatuh ke dalam kesalahan dan dosa itu adalah orang-orang yang  tidak mengetahui perkara-perkara agama dan membenarkannya. Orang yang  tahu dan berilmu saja dengan sebab belitan hawa nafsu dan perasaannya  dapat terjatuh ke dalam larangan maka bagaimana dengan orang yang tidak  tahu?.
Maka dari sebab itu, setiap muslim wajib menuntut ilmu dengan harapan  ilmu itu dapat menerangi dan membimbingnya kepada jalan yang lurus  tiada kebengkokan.
Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman di dalam ayat berikut ini,
وَ مَا كَانَ اْلمـــُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَــــــافَّةً  فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَــائِفَةٌ  لِّيَتَفَقَّهُوا فِى الدِّينِ وَ لِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا  إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).  Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa  orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk  memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali  kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. [QS. Al-Baraa’ah/9:  122].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairiy hafizhohullah, “Adanya  persamaan antara keutamaan menuntut ilmu dan jihad dengan syarat niat  yang benar secara menyeluruh. Orang yang menuntut ilmu itu tidak akan  memperoleh pahala kecuali jika ia belajar untuk mengetahui lalu beramal  kemudian untuk mengajarkan (manusia) secara cuma-cuma di jalan Allah.  Mujahid juga tidak akan memperoleh pahala kecuali jika untuk meninggikan  kalimat Allah secara khusus”.[7]
Di dalam ayat di atas Allah Jalla wa Ala telah memerintahkan kepada  suatu kaum untuk mengirim beberapa orang di antara mereka untuk  memperdalam ilmu-ilmu agama berupa perkara akidah, ibadah, muamalah dan  selainnya. Mereka tidak boleh memberangkatkan semua penduduknya untuk  berjihad memerangi orang-orang kafir. Sebab jika dalam pertempuran itu  semua mereka terbunuh, maka siapakah lagi yang dapat membimbing dan  mengajari anak-anak dan kaum wanitanya akan perkara-perkara agama  mereka?. Juga jika mereka disibukkan dengan berjihad tanpa ada yang  memperdalam urusan agama mereka, maka niscaya mereka akan banyak  meninggalkan kewajiban dan melanggar larangan yang ada dalam agama  mereka, sebab tidak ada yang akan mengingatkan mereka terhadap kesalahan  dan kekeliruan tersebut.
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ
Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata, telah bersabda  Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Menuntut ilmu itu hukumnya  wajib bagi tiap muslim”. [HR Ibnu Majah: 224. Berkata asy-Syaikh  al-Albaniy: shahih]. [8]
Di dalam hadits di atas Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah  mewajibkan kepada tiap muslim, pria ataupun wanitanya, tua atau  mudanya, miskin atau kayanya, yang menganggur atau yang sibuknya,  pembantu atau majikannya dan juga rakyat atau pemimpinnya untuk menuntut  ilmu agar tiap-tiap mereka dapat menjaga diri dari berbagai dosa dan  kesalahan. Sebab hidup tanpa ilmu agama akan berakibat fatal, pahala  kebaikan yang ia dambakan tetapi dosa keburukan yang ia akan peroleh  atau surga yang ia impikan namun neraka yang ia akan rasakan atau  kebahagiaan mendapat ridlo Allah Subhanahu wa ta’ala yang ia cari  ternyata kesengsaraan dengan mendapat murka Allah Azza wa Jalla yang ia  raih.
Hal itu tidak lain dikarenakan ia beramal laksana orang buta dalam  kegelapan yang gulita, tidak mengetahui gelapnya malam dari terangnya  siang, tidak memahami antara jalan lurus dari jalan berbelok, tidak  mengerti batas perbedaan suatu benda dari benda yang lain dan  sebagainya.
Begitupun orang yang hidup tanpa bimbingan ilmu syar’iy, ia susah  membedakan antara yang hak dan batil, sukar menentukan pilihan antara  jalan kaum mukminin dari kaum kafirin dan sulit menyikapi sesuatu itu  diperintah atau dilarang. Hal itu jelas, karena ia hidup tanpa ilmu dari  Allah Tabaroka wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam  yang paling paham jalan menuju surga. Tak aneh jika ia menyangka bahwa  perbuatan syirik itu sebagai tauhid, bid’ah itu sebagai sunnah dan  ghibah itu sebagai suatu berita yang mubah.
Dari sebab itu, di antara tanda-tanda orang yang diberi kebaikan oleh  Allah  I adalah orang itu diberi pemahaman dalam perkara agama,  sebagaimana telah diterangkan oleh Rosulullah r yang dituangkan di dalam  hadits berikut ini,
عن معاوية رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فىِ الدِّيْنِ
Dari Mu’awiyah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan  oleh Allah maka Ia akan memberikan pemahaman kepadanya dalam perkara  agama”. [HR al-Bukhoriy: 71, 3116, 7312,  Muslim: 1037, at-Tutmudziy: 2645, Ibnu Majah: 221, Ahmad: IV/ 101 dan  ad-Darimiy: I/ 73-74, II/ 297. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih].[9]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,  “Barangsiapa yang tidak paham dalam perkara-perkara agama dan tidak  mempelajari kaidah-kaidah Islam serta apa yang berhubungan dengannya  dari cabang-cabang (agama) maka diharamkan kebaikan itu (baginya)”.[10]
Beruntunglah orang yang telah dianugerahi kebaikan oleh Allah Azza wa  Jalla berupa diberi pemahaman dalam perkara-perkara agama. Hal itu  ditandai dengan langkahnya yang ringan untuk mendatangi majlis-majlis  yang menebarkan tauhid dan berbagai pokok ajaran agama yang berdasarkan  alqur’an dan sunnah yang shahih, telinganya tentram mendengarkan  materi-materi kajiannya, matanya sejuk membuka lembaran alqur’an,  kitab-kitab hadits dan buku-buku kajian beserta rujukannya, hatinya  lapang menerima berbagai perintah dan larangan yang terdapat didalamnya  dan hidupnyapun menjadi jelas arah dan tujuannya.
Memang jika seseorang mempermudah dirinya untuk menuju jalan yang  diridloi oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dengan mendatangi majlis-majlis  ilmu, maka Ia-pun akan memudahkan jalan untuknya berada di arah jalan  menuju surga, ridlo dan ampunan-Nya.
عن أبى هريرة رضي الله عنه و أبو الدرداء رضي الله عنه أَنَّ  رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: وَ مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا  يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلىَ  اْلجَنَّةِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dan Abu ad-Darda’ radliyallahu  anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,  “Barangsiapa yang berjalan di suatu jalan dalam rangka mencari ilmu,  maka Allah akan mudahkan jalan baginya menuju surga”. [HR Muslim: 2699,  at-Turmudziy: 2646, 2682, 2945, Abu Dawud: 3641, 3643, Ibnu Majah: 223,  225, Ahmad: II/ 252, V/ 196 dan al-Hakim: 307. Berkata asy-Syaikh  al-Albaniy: shahih]. [11]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Adanya  ambisi di dalam mencari ilmu syar’iy yang dapat menuntunnya kepada ridlo  Allah Subhanahu wa ta’ala dan dengannya kita dapat masuk ke dalam  surga, Insyaa Allah.    [12]
Dengan ilmu seorang muslim tahu bahwa ghibah, fitnah dan namimah itu  dilarang dan diharamkan oleh agama, sehingga ia bisa menjauh dan  menghindar darinya. Jika ia sudah mampu menghindar darinya apalagi  mengingkarinya dari lingkungan sekitarnya maka hal ini berarti bahwa  salah satu jalan dari beberapa jalan ke neraka telah tertutup baginya.  Maka jelaslah, bahwa salah satu kiat menghindar dari ghibah yang dapat  menyeret pelakunya ke neraka adalah dengan memahami ilmu syar’iy.
Tetapi jika seseorang itu bodoh dari perkara-perkara yang dilarang  tersebut, maka kebodohannya itu akan menggelincirkannya ke dalam lubang  ghibah yang amat berbahaya dan membahayakan. Sebab bagaimana mungkin ia  ingin dan dapat menghindar dari bahaya ghibah sedangkan ia tidak  mengetahuinya. Akhirnya, dengan ghibah yang telah menjadi hidangan lezat  baginya itu, ia telah melumuri dirinya dengan dosa dan kesalahan. Jika  demikian, maka salah satu dari jalan menuju neraka telah terbuka menanti  kedatangannya.
4). Membersihkan hati dari berbagai kotoran hati.
Hal lain yang dapat menghindarkan dan menjauhkan seseorang dari  menghidupkan budaya ghibah adalah kebersihan hati dari berbagai kotoran  dan penyakit hati. Hati yang kotor lagi berpenyakit adalah pemicu dan  penggerak lisan yang dominan di dalam kebiasaan membicarakan keburukan  dan kekurangan saudaranya kepada yang lain. Dalam pandangannya setiap  orang itu adalah salah dan keliru dan yang benar hanyalah dirinya saja.
Buruk sangka, dendam, dengki, mencari-cari kesalahan orang lain,  pengecut dan selainnya adalah merupakan beberapa jenis kotoran dan  penyakit hati. Telah dijelaskan tentang bahaya ghibah dan kaitannya  dengan beberapa kotoran dan penyakit hati tersebut di dalam beberapa bab  yang telah lalu.
Maka jika seorang muslim ingin menjauh dari ghibah hendaklah ia  membersihkan hatinya dari noda dan kotorannya. Mustahil ia dapat menjauh  darinya apalagi menanggalkan dan meninggalkannya, seandainya dirinya  masih diliputi dan ditutupi olehnya.
Dan beruntunglah jika ia telah berhasil mensucikan jiwa dan hatinya  dari berbagai noda dan kotoran apalagi penyakit hati, sebab berarti ia  dapat lepas dari belitan ghibah yang memperbudak. Rugi dan binasalah  orang yang melumuri hatinya dengan berbagai kotoran dan noda, hal itu  lantaran ia tidak dapat keluar bebas dari cekikan ghibah yang  mempersesak.
وَ نَفْسٍ وَ مَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَ تَقْوَاهَا قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا وَ قَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
Demi jiwa serta penyempurnaannya (yaitu ciptaannya). Maka Allah  mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.  Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan  sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. [ QS. Asy-Syams/ 91:  7-10].
Bersih atau kotornya hati dan jiwa itu tergantung dari pemiliknya,  sebagaimana rumah dan halamannya. Jika si pemilik rumah adalah orang  yang pemalas, maka disetiap sudut rumahnya akan dijumpai banyak kotoran  dan terkesan kumuh. Dari halaman rumahnya, ruang tamu, ruang makan,  ruang tidur, kamar mandi dan jamban, dapur dan selainnya dapat dijumpai  sampah, pakaian dan perabotan rumah yang kotor, debu, kelembaban dan  sejenisnya. Jika ada kotoran dan kekumuhan maka akan dijumpai pula hewan  yang hidup di area kotor tersebut, dari kecoa, lalat, kelabang, tikus,  cacing, nyamuk dan sebagainya yang dapat menimbulkan berbagai macam  penyakit. Jika demikian, orang yang tinggal dan menempati rumah tersebut  akan mudah terserang berbagai jenis penyakit semisal; diare, demam  berdarah, cikungunya, berbagai penyakit kulit, ispa (penyakit pada  saluran pernapasan) dan lain sebagainya.
Seperti itu pulalah kondisi orang yang memiliki hati, jika ia malas  membersihkannya dengan menghadiri kajian agama, membaca alqur’an,  berdzikir, bergaul dengan orang shalih, melakukan aktifitas ibadah dan  selainnya maka sifat malas itulah yang dapat merusak dan melemahkan  hatinya. Akan muncul berbagai kotoran dari hatinya semisal rasa jenuh  dan segan dalam beribadah, enggan berteman dengan orang yang shalih dan  kikir dalam mendermakan waktu dan harta untuk kebaikan akhirat dan  sebagainya. Akibatnya, ia lebih suka berfoya-foya, bergaul dengan orang  yang jelek akidah dan akhlaknya dan sibuk mencari “enam ta” (harta,  tahta, wanita, toyota, unta dan senjata) untuk kesenangan hidup di dunia  semata. Harta mewakili simpanan berbagai benda berharga dari mata uang,  emas, perak, intan, mutiara dan lainnya, tahta mewakili kedudukan dan  jabatan, wanita mewakili kesenangan seksual, toyota mewakili kebanggaan  dengan mempunyai kendaraan yang bagus, unta mewakili hewan ternak dan  senjata mewakili alat untuk menjajah atau mempertahankan diri. Jika  demikian, orang yang memiliki tabiat dan perilaku itu dapat diserang  oleh berbagai penyakit hati semisal dengki, buruk sangka, tajasuus  (menyelidik kesalahan lawannya), dendam terhadap orang yang  menzholiminya dan sebagainya. Maka celaka dan rugilah dengan berbagai  penyakit dan kotoran hati itu, ia dapat memasuki neraka dalam keadaan  hina dan dihinakan.
فَلَا تُزَكُّــوا أَنفُسَهُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah yang paling  mengetahui tentang orang-orang yang bertakwa. [ QS. An-Najm/ 53: 32].
Setiap manusia, tak terkecuali seorang muslim jika merasa dirinya  paling bersih dan suci maka akan memandang selainnya penuh dengan noda  dan kesalahan. Sehingga ia menganggap bahwa ia adalah orang yang pantas  dan layak untuk membicarakan aib dan kesalahan orang lain. Seorang  majikan, lantaran lebih mulia kedudukannya daripada pembantunya, maka ia  merasa boleh-boleh saja mengghibahi pembantunya tersebut. Orang tua  atau mertua, karena lebih terhormat statusnya dari anak atau menantunya,  maka ia menyangka sah-sah saja ngegosip anak atau menantunya tersebut.  Guru, ustadz, kyai, habib atau yang sejenisnya, disebabkan lebih tinggi  status ilmu dan ibadahnya, ia menyangka bahwa tidak mengapa menggunjing  para murid atau santrinya, dan seterusnya. Padahal sifat, sikap dan  keyakinan tersebut adalah batil dan tidak dibenarkan oleh agama.  Setinggi dan semulia apapun kedudukan seseorang dari selainnya, ia tetap  tidak berhak untuk mengghibah dan membicarakan berbagai keburukan dan  kesalahan orang lain.
Maka dari itulah, cara jitu bagi setiap hamba muslim untuk menjauh  dan menghindar dari ghibah adalah membersihkan hati dari perasaan lebih  mulia dan tinggi dari orang lain. Ia mesti merasa bahwa dirinya tidaklah  merasa lebih suci dari selainnya, dosa dan kesalahannya tidaklah jauh  berbeda dengan selainnya dan orang lain itu tidaklah lebih berhak  dighibah darinya.
عن عبد الله بن عمرو قَالَ: قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله  عليه و سلم: أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: كُلُّ مَخْمُوْمِ اْلقَلْبِ  صَدُوْقِ اللِّسَانِ قَالُوْا: صَدُوْقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا  مَخْمُوْمُ اْلقَلْبِ؟ قَالَ: هُوُ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لاَ إِثْمَ  فِيْهِ وَ لاَ بَغْيَ وَ لاَ غِلَّ وَلاَ حَسَدَ
Dari Abdullah bin Amr berkata, pernah ditanyakan kepada Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam, “Siapakah manusia yang paling utama?”.  Beliau menjawab, “Setiap orang yang bersih hatinya lagi jujur lisannya”.  Mereka bertanya, “Kalau jujur lisannya kami sudah tahu, apakah hati  yang bersih itu?”. Beliau menjawab, “Dia adalah orang yang bertakwa lagi  bersih, tidak melakukan dosa, perbuatan aniaya, dendam dan dengki”. [HR  Ibnu Majah: 4216 dan Ibnu Asakir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:  shahih]. [13]
Di dalam hadits di atas, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam  telah menerangkan bahwa manusia yang paling utama adalah orang yang  bersih hatinya lagi jujur perkataannya. Lalu Beliau menegaskan lagi  bahwa orang bersih hatinya adalah orang yang bertakwa, (berusaha) bersih  dari dosa, tidak melakukan perbuatan aniaya kepada orang lain, tidak  memiliki rasa dendam dan dengki.
Jadi jika ada seorang yang menyangka dirinya adalah orang yang paling  utama namun orang tersebut mempunyai hati yang kotor sehingga ia gemar  berbuat dosa, suka berbuat aniaya kepada orang lain, memiliki dendam  kesumat dan dengki kepada saudaranya, maka persangkaannya itu adalah  batil. Maka tidak ada kebaikan dan keutamaan bagi seorang muslim jika ia  hanya mengisi kehidupannya itu dengan berbagai perbuatan dosa dan  kemaksiatan semisal mengghibah, memfitnah, namimah, mencaci, mencela,  dusta, menggerutu, berkata keji dan jorok, bersaksi palsu, bersumpah  dengan nama selain Allah Subhanahu wa ta’ala dan sebagainya dari amalan  lisan. Atau mengambil harta orang lain dengan cara yang batil, memukul,  membunuh, menendang, mencibir, menyikut dan sebagainya dari amalan  anggota tubuh. Atau dengki, buruk sangka, dendam, senang dipuji, kesal  dicela, gembira dengan penderitaan orang lain, sedih dengan kebahagiaan  orang lain, jengkel, kecewa dan selainnya dari amalan hati.
Perilaku gemar berbuat maksiat biasanya terlahir dari hati yang rusak  dan berpenyakit. Sebab jika hati seorang muslim itu baik dan sehat maka  berbagai amalan anggota tubuhnya juga akan baik dan benar. Namun jika  hati itu telah rusak dan berpenyakit maka berbagai amalannyapun menjadi  rusak tak bernilai dan boleh jadi dapat merusak yang lainnya.
عن النعمان بن بشير يَقُوْلُ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى  الله عليه و سلم يَقُوْلُ: أَلاَ وَ إِنَّ فىِ اْلجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا  صَلَحَتْ صَلَحَ اْلجَسَدُ كُلُّهُ وَ إِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ اْلجَسَدُ  كُلُّهُ إَلاَ وَهِيَ اْلقَلْبُ
Dari an-Nu’man bin Basyir radliyallahu anhu berkata, aku pernah  mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ingatlah,  sesungguhnya di dalam tubuh ini ada segumpal daging. Jika segumpal  daging ini baik maka akan baik pulalah seluruh tubuhnya. Namun jika  segumpal daging ini rusak maka akan rusak pulalah seluruh tubuhnya.  Ingat, dan sesungguhnya ia itu adalah hati”. [HR al-Bukhoriy: 52, 2051,  Muslim 2564, Ibnu Majah: 3984, Ahmad: IV/ 270 dan ad-Darimiy: II/ 245.  Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih].  [14]
Jika hati seorang muslim itu telah menjadi bersih dari berbagai  kotorannya maka lisannya tidak akan mengeluarkan sepatah katapun kecuali  yang baik lagi benar. Hatinya akan selalu memandang dan menilai  saudaranya dengan pandangan yang positif lagi tiada gusar.
Misalkan salah seorang saudaranya yang seagama ada yang melakukan  satu kesalahan bahkan kepada dirinya berupa ghibah atau fitnah, maka ia  akan memandangnya dengan pandangan yang baik. Ia berbaik sangka;  barangkali saudaranya tersebut belum tahu bahwa perbuatannya itu  dilarang oleh agama. Namun seandainya saudaranya itu ternyata telah tahu  larangan tersebut, ia tetap berbaik sangka; barangkali saudaranya itu  melakukannya dalam keadaan lupa. Tapi seandainya saudaranya itu ternyata  tidak lupa akan larangan tersebut, ia tetap berbaik sangka; barangkali  saudaranya itu terpaksa melakukannya kepadanya karena suatu hal. Tetapi  jika ternyata saudaranya tersebut memang menyengaja melakukannya kepada  dirinya, ia tetap akan bersangka baik; bahwa setiap manusia itu niscaya  berbuat dosa dan kesalahan meskipun ilmu dan ibadahnya tinggi, dan ia  tetap enjoy dengan perbuatan saudaranya itu kepada dirinya. Ia selalu  siap memberi maaf kepada saudaranya itu jika meminta maaf, tetap berbuat  baik kepadanya kendatipun ia bersikap buruk kepadanya, ia tetap  bersilaturrahmi kepadanya meskipun ia memutuskannya darinya dan tidak  ada sedikitpun dendam yang menggores lagi melukai hatinya.
Oleh sebab itu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam senantiasa  memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar senantiasa membersihkan dan  mensucikan hati dan jiwanya, sebagaimana di dalam hadits berikut,
  عن زيد بن أرقم قَالَ: لاَ أَقُوْلُ لَكُمْ إِلاَّ كَمَا  كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ كَانَ يَقُوْلُ:   اَللَّهُمَّ آتِ نَفْسِى تَقْوَاهَا وَ زَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ  زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَ مَوْلاَهَا
Dari Zaid bin Arqom berkata, aku tidak akan berkata kepada kalian  kecuali sebagaimana yang dikatakan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa  sallam, Beliau berdoa, “Ya Allah, berikanlah ketakwaan kepada diri  (jiwa)ku, dan sucikanlah, Engkau adalah sebaik-baik yang mensucikannya,  sebab Engkau adalah penolong dan pelindungnya”. [HR Muslim: 2722,  an-Nasa’iy: VIII/ 260, 285 dan Ahmad: IV/ 371. Berkata asy-Syaikh  al-Albaniy: shahih]. [15]
Mudah-mudahan dengan doa yang diucapkan oleh seorang muslim ini,  Allah Azza wa Jalla berkenan untuk mensucikan dan membersihkan hati dan  jiwanya sehingga ia tidak pernah berniat buruk kepada saudaranya untuk  mengghibahnya dan perbuatan-perbuatan aniaya lainnya.
5). Selalu menutup mata dan telinga dari keburukan dan kesalahan saudaranya
Cara jitu yang tak kalah pentingnya bagi setiap  muslim agar terhindar dari mengghibah saudaranya adalah dengan menutup  mata dan telinga dari berbagai kekurangan dan keburukan saudaranya.  Semakin sedikit ia mengetahui keburukan saudaranya maka akan semakin  terhindar dari mengghibahinya.
Telah disebutkan larangan dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa  sallam untuk mencari-cari aib kaum muslimin sebagaimana di dalam hadits  dari Abu Barzah al-Aslamiy radliyallahu anhu,
وَ لاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ
“Jangan kalian mencari-cari aib mereka, barangsiapa yang mencari-cari  aib mereka, maka Allah akan mencari-cari aibnya”. [HR Abu Dawud: 4880  dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan shahih].[16]
Dan juga sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits yang lainnya dari Ibnu Umar  radliyallahu anhuma,
وَ لاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَتْبَعْ عَوْرَةَ أَخِيْهِ اْلمـُسْلِمِ تَتَّبَعَ اللهُ عَوْرَتَهُ
“Dan jangan menyelidiki aib-aib mereka, sesungguhnya barangsiapa yang  menyelidik aib saudaranya yang muslim maka Allah juga akan menyelidiki  aibnya”. [HR at-Turmudziy: 2032. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan  shahih]. [17]
Disamping itu, setiap muslim ketika berinteraksi dengan sebahagian  saudaranya itu hendaklah membuka mata dan telinga untuk melihat sisi  baik dan positifnya. Sebab setiap manusia itu selain mempunyai sisi  buruk tentu mempunyai sisi baiknya juga. Dengan hal itu, sepatutnya ia  tidak hanya mau mengetahui dan menerima sisi buruk dan negatifnya saja  tetapi juga hendaklah memperhatikan dan mengingat sisi baik dan  positifnya. Sebagaimana wasiat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam  kepada seorang suami yang beriman, jika ia tidak menyukai satu akhlak  yang buruk dari istrinya hendaklah memperhatikan akhlak lainnya yang  baik sehingga ia tidak akan membenci dan bahkan menceraikannya.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى  الله عليه و سلم: لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا  خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda  Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Janganlah seorang mukmin itu  membenci seorang mukminah (misalnya, istrinya), jika ia tidak menyukai  satu akhlak (buruk) darinya hendaklah ia menyukai (akhlak) yang  lainnya”. [HR Muslim: 1469 dan Ahmad: II/ 329. Berkata asy-Syaikh  al-Albaniy: shahih]. [18]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Seorang  lelaki itu dilarang untuk membenci istrinya yang beriman, hanya lantaran  sebahagian (kesalahan namun dianggap) secara menyeluruh yang dapat  mendorongnya untuk menceraikannya. Tetapi hendaklah ia menimbang antara  yang ia benci dengan apa yang ia sukai darinya. Lalu ia mengampuninya,  memaafkan kelalaiannya dan tidak mempedulikan apa yang dibencinya itu  dengan apa yang ia sukai”. [19]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah,  “Walhasil, bahwasanya manusia itu sepatutnya bermuamalah dengan orang  yang ada di antara dirinya dengan orang tersebut, yang ada kaitan  pernikahan, pertemanan atau dalam masalah jual beli atau selainnya untuk  bermuamalah dengan adil. Apabila ia tidak menyukai akhlak (orang  tersebut) atau sikap buruknya kepadanya di dalam muamalah hendaklah ia  melihat sisi-sisi lainnya yang baik sehingga ia dapat membandingkan  antara yang ini dengan yang itu. Maka inilah dia keadilan yang  diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu  alaihi wa sallam sebagaimana firman-Nya,
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَ اْلإِحْسَانِ وَ  إِيتَاءِ ذِى اْلقُرْبَى وَ يَنْهَى عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَ اْلمـــُنكَرِ وَ  اْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat  kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari  perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran  kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran. [QS. an-Nahl/ 16:  90]. [20]
Berdasarkan hal ini, maka setiap muslim jika kebetulan melihat sisi  buruk saudaranya maka hendaklah ia juga melihat sisi baiknya agar ia  tidak mudah terjatuh kepada kebencian dan permusuhan yang mengakibatkan  ia berkeinginan untuk menyusahkannya dengan cara mengghibah atau  memfitnahnya.
Dan yang lebih utama adalah ia selalu menghindar dan menutup kedua  telinganya dari mendengar berbagai keburukan dari saudaranya itu. Atau  ia senantiasa berpaling dan menutup kedua matanya dari melihat berbagai  kesalahan dan kekeliruan yang dilakukan olehnya. Sehingga dengan  perilakunya ini, ketika ia telah terjaga dari mengetahui keburukan  saudaranya maka terpeliharalah dirinya dari mengghibahinya dan  terhindarlah pula ia dari menduga-duga. Maka buta mata dan pekak telinga  dari aib cela akan menjadikan hati tidak menduga kira dan bungkam mulut  dari berburuk kata.
Namun ketika telah jelas baginya bahwa saudaranya itu memiliki  akidah, akhlak atau pemahaman agama yang buruk lalu ia khawatir dirinya  dapat terpengaruh dan terbawa oleh keburukannya. Maka tidak mengapa ia  mengetahui keburukan saudaranya itu untuk menjaga dirinya bahkan  mengabarkan kepada selainnya agar orang lain juga dapat terhindar dari  keburukannya dengan batas-batas yang dibolehkan oleh syariat,  sebagaimana akan datang penjelasannya, insyaa Allah ta’aala.
6). Tidak berteman dengan para peng-ghibah
 Terkadang orang gemar melakukan ghibah itu karena  terpengaruh lingkungan bergaulnya. Orang yang pendiampun jika bergaul  dan selalu berdampingan dengan tukang ghibah suatu saat akan senang  dengan ghibah temannya itu dan bahkan suatu waktu akan ikut terpengaruh  untuk berpartisipasi dalam berghibahria.
Maka dari sebab itu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah  menjelaskan kepada umatnya berkaitan dengan masalah ini, bahwa seseorang  itu sangat terkait dengan keyakinan dan pemahaman agama kawannya. Jika  kawannya itu baik agamanya maka iapun akan terbawa oleh kebaikan agama  kawannya tersebut. Tetapi jika kawannya itu tidak baik dan buruk  pemahaman agamanya maka iapun boleh jadi akan terpengaruh oleh keburukan  agama kawannya tersebut. Kelak pada hari kiamat, ia akan berkumpul  dengan kawan dekat kecintaannya itu. Jika kawannya yang buruk itu berada  di neraka maka iapun akan di siksa di dalam neraka. Jika temannya yang  shalih itu bertempat di surga dengan segala kenikmatannya, maka iapun  akan bersamanya di surga.
Tak heran, jika Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyuruh  umatnya untuk memilih dan memilah orang untuk menjadi teman baik dan  kawan bergaulnya. Sebagaimana di dalam hadits di bawah ini,
عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و  سلم قَالَ: الرَّجُلُ عَلىَ دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ  مَنْ يُخَالِلْ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu  alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang itu berada di atas agama kawannya.  Maka hendaklah seseorang di antara kalian memperhatikan kepada siapakah  ia berkawan”. [HR Abu Dawud: 4833, at-Turmudziy: 2378, al-Hakim: 7399,  Ahmad: II/ 303, 334, al-Baihaqiy di dalam Syu’ab al-Iman: 9436, 9438 dan  al-Khathib. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan]. [21]
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله  عليه و سلم قَالَ: لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا وَ لاَ يَأْكُلْ  طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِيٌّ
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu  alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kamu berteman melainkan kepada  orang mukmin dan janganlah memakan makananmu kecuali orang yang  bertakwa”. [HR Abu Dawud: 4832, at-Turmudziy: 2399, Ahmad: III/ 38,  al-Hakim dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan]. [22]
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلىَ  رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ  تَقُوْلُ فىِ رَجُلٍ أَحَبَّ قَوْمًا وَ لَمْ يَلْحَقْ بِهِمْ؟ فَقَالَ  رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: اْلمـَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ
Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu anhu berkata, seorang lelaki  pernah datang kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam lalu  bertanya, “Wahai Rosulullah, apa pendapatmu tentang seseorang yang  mencintai suatu kaum padahal ia belum pernah bertemu mereka?”. Beliau  menjawab, “Seseorang itu bersama dengan orang yang dicintainya”.  [HRal-Bukhoriy: 6169, Muslim: 2640, at-Turmudziy: 2387 dari Shofwan bin  Assal, Abu Dawud: 5127 dari Anas bin Malik dan Ahmad: I/ 392, III/ 159,  228, 268, IV/ 239, 241, 392, 395, 398, 405. Berkata asy-Syaikh  al-Albaniy: shahih]. [23]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,  “Sepatutnya bagi muslim untuk memilih kawan dan teman dekatnya dari  kalangan orang-orang shalih lagi bertakwa agar ada bersama mereka sebab  seseorang itu akan dikumpulkan bersama dengan orang-orang kecintaannya”.  [24]
Demikian saran dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bagi  umatnya agar tidak memilih shahabat kecuali yang beriman. Sebab  persahabatan dengan orang mukmin itu hanya akan membawa ketentraman di  dunia dan keselamatan di akhirat.
Tentram dari ajakan dan gangguan keburukannya, karena orang mukmin  itu tidak akan mengajak apapun kepada selainnya kecuali kebaikan dan  kebenaran. Yaitu tidak akan mengajak kepada perbuatan syirik, nifak,  kufur, minum khomer, mencuri, mengghibah, memfitnah dan sebagainya.  Tidak akan mendatangkan gangguan apapun kepada selainnya kecuali rasa  aman dan nyaman. Yaitu tidak menganggu harta dan darahnya, juga tidak  mengganggu kemuliaannya dengan melontarkan dan menebarkan ghibah dan  fitnah tentangnya, dan sebagainya.
Selamat di akhirat, sebab shahabatnya yang beriman itu selama hidup  di dunia akan selalu menjaganya dari berbagai kemaksiatan, mengajak dan  mendukungnya kepada ketaatan, menegur dan menashihatinya jika berbuat  salah dan sebagainya. Jika demikian ia akan selamat dari jilatan api  neraka dan akan berbahagia dengan mengenyam berbagai kenikmatan surga.
عن أبي موسى الأشعري رضي الله عنه قَالَ: قاَلَ رَسُوْلُ  اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَثَلُ اْلجَلِيْسِ الصَّالِحِ وَ السُّوْءِ  كَحَامِلِ اْلمِسْكِ وَ نَافِخِ اْلكِيْرِ فَحَامِلُ اْلمِسْكِ إِمَّا أَنْ  يُحْذِيَكَ وَ إِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَ إِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ  رِيْحًا طَيِّبَةً وَ نَافِخُ اْلكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ  وَ إِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا خَبِيْثَةً
Dari Abu Musa al-Asy’ariy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda  Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Perumpamaan teman yang shalih  dan yang buruk adalah laksana penjual minyak wangi dan peniup ubupan. [25] Penjual minyak wangi adakalanya ia akan memberikannya kepadamu secara  cuma-cuma, engkau membeli darinya atau engkau mencium bau harum darinya.  Adapun peniup ubupan, adakalanya ia akan membakar bajumu atau engkau  akan mendapati bau busuk darinya”. [HR al-Bukhoriy: 5534, Muslim: 2628  dan Ahmad: IV/ 404, 405, 408. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [26]
Apabila seorang muslim berkawan dengan penjual minyak wangi, maka ia  akan dapat beberapa hal yang dapat menguntungkannya, adakalanya ia  mendapatkannya secara cuma-cuma dari penjualnya tersebut, membeli minyak  wangi tersebut darinya dan jikapun tidak maka ia tidak akan dirugikan  olehnya sebab ia masih dapat mencium wewangian yang ditebarkan oleh  penjual minyak wangi tersebut. Dan apabila ia bergaul dan berteman  dengan peniup ubupan maka ia akan memperoleh dua kerugian, adakalanya  peniup ubupan dapat membakar bajunya dengan percikan api yang ditiupnya  dan jika tidak maka ia tetap akan dirugikan sebab ia masih dapat mencium  bau busuk dari asap tersebut.
Maksudnya, jika ia berteman dengan orang yang shalih, maka ia dapat  memperoleh banyak kebaikan darinya. Ia dapat menimba ilmu darinya,  dinashihati olehnya jika salah, diajak kepada berbagai perbuatan baik  dan lain-lainnya. Tetapi jika ia tidak diperlakukan seperti itu, ia  tetap tidak akan dirugikan sebab ia tidak akan diperlakukan buruk oleh  temannya tersebut. Temannya tersebut tidak akan mengambil hartanya  dengan cara yang batil, tidak akan menumpahkan darahnya meskipun hanya  setetes dan tidak akan mengoyak dan merusak kehormatan atau harga  dirinya dengan ghibah atau fitnah kendatipun temannya itu sangat  mengetahui segala kekurangan dan keburukannya.
Namun jika ia berteman dengan kawan yang buruk lagi busuk, maka ia  akan memperoleh banyak keburukan darinya. Ia akan mengajaknya untuk  berbuat jelek, membiarkannya ketika berbuat salah, mencegahnya ketika  berbuat baik dan sebagainya. Tetapi jika tidak, ia tetap akan  mendapatkan kerugian darinya sebab temannya tersebut boleh jadi akan  berbuat buruk kepadanya. Teman buruknya itu akan menipu dan mengambil  sebahagian hartanya dengan cara yang batil, akan menumpahkan darahnya  jika diperlukan dan akan berusaha merusak dan menghancurkan kemuliaan  dan harga dirinya melalui ghibah dan fitnah, terlebih jika temannya itu  sangat mengetahui kekurangan dan aibnya.
7). Meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Azza wa Jalla
Kiat lainnya yang dapat menjauhi dan menghindarkan diri dari ghibah  adalah senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah  Subhanahu wa ta’ala. Di antara bentuk keimanan seorang muslim itu adalah  ia menyukai saudaranya sebagaimana ia menyukai dirinya sendiri. Yakni  sebagaimana ia menyukai berbagai kebaikan ada padanya maka ia juga suka  jika kebaikan itu ada pada saudaranya. Ia tidak menyukai suatu keburukan  menimpa saudaranya sebagaimana iapun pasti tidak menyukainya jika  keburukan itu menimpanya.
Hal ini berarti, jika muslim tersebut tidak suka jika dirinya  dighibah, diperbincangkan beberapa aib dan keburukannya, lalu aibnya  tersebut disebarkan ke berbagai pelosok belahan bumi, maka seharusnya  iapun membenci jika ada saudaranya seagama yang dighibah,  diperbincangkan aib dan keburukannya bahkan disebarluaskan ke berbagai  belahan bumi ini. Seandainya telah tumbuh kebencian dalam dirinya  tatkala ada saudaranya sedang dikoyak dan dirobek kehormatannya maka ia  telah memenuhi salah satu dari persyaratan orang beriman. Tetapi jika  tidak, bahkan ia menyukai dan menikmatinya maka pengakuan keimanan dalam  dirinya itu hanya pepesan kosong belaka.
عن أنس رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم  قَالَ: لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ  لِنَفْسِهِ
Dari Anas radliyalllahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam  bersabda, “Tidaklah seseorang di antara kalian sempurna imannya sehingga  ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. [HR  al-Bukhoriy: 13, Muslim: 45, an-Nasa’iy: VIII/ 115, 125, at-Turmudziy:  2515, Ibnu Majah: 66, Ahmad: III/ 177, 207, 275, 278, ad-Darimiy: II/  307 dan ath-Thoyalisiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [27]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Syarat  iman yang sempurna adalah seorang muslim menginginkan kepada kaum  muslimin sebagaimana yang diinginkan dan yang dikehendaki oleh dirinya  dari kebaikan dan ketaatan”. [28]
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى  الله عليه و سلم: وَ أَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ  مُسْلِمًا
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda  Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Dan sukailah apa yang disukai  oleh manusia sebagaimana engkaupun menyukai bagi dirimu sendiri pasti  engkau menjadi seorang muslim”. [HR at-Turmudziy: 2305, Ahmad: II/ 310  dan al-Khara’ithiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan]. [29]
Setiap muslim yang ingin menyempurnakan keimanan dan keislamannya  niscaya ia menginginkan kebaikan-kebaikan kepada saudaranya, apakah  dalam perkara agama ataupun dunia. Ia berbahagia jika ada saudaranya  yang telah mampu membaca alqur’an, apalagi menghafal dan mengamalkannya.  Ia senang apabila ada yang saudaranya sedang mengerjakan ibadah shaum  atau sholat sunnah, menunaikan ibadah haji atau umrah, membayar zakat  atau bersedekah, membangun masjid apalagi memakmurkannya, beramar ma’ruf  dan nahi munkar serta berpartisipasi mendakwahi umat kepada mengibadahi  Allah Azza wa Jalla dengan landasan alqur’an dan hadits yang shahih  sesuai pemahaman ulama salaf. Ia turut bergembira dikala ada saudaranya  yang sudah berusaha hidup sesuai dengan aturan Islam berupa; mengenakan  pakaian muslimah, memelihara jenggot dan celana ngatung tidak isbal,  ta’addud (poligami) dan sebagainya.
Begitu pula dalam perkara dunia, ia turut bersuka cita jika ada  saudaranya yang memperoleh kelayakan hidup, berupa harta yang cukup  bahkan berlebih, meraih status pendidikan yang tinggi, mencapai posisi  atas dalam profesi, mendapat kedudukan yang mulia di masyarakat,  menikahi istri shalihah lagi elok menawan, melahirkan keturunan yang  baik, rupawan lagi pula pandai cerdas dan lain sebagainya dari berbagai  kenikmatan dunia.
Bahkan jika ia mempunyai kemampuan atau kelebihan, ia akan selalu  berusaha membantu saudaranya untuk mendapat segala kebaikan itu, jika  perlu ia akan memberikannya sesuai dengan ajaran agamanya. Karena ia  tahu bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi  manusia lainnya, sebagaimana telah disabdakan oleh Rosulullah r di dalam  hadits di bawah ini,
عن جابر رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Dari Jabir radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi  wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat  bagi orang lain”. [HR ad-Daruquthniy di dalam al-Afrad, ath-Thabraniy,  Adl-Dliya’ al-Muqaddisiy dan al-Haitsamiy. Berkata asy-Syaikh  al-Albaniy: hasan]. [30]
Berkaca dengan dalil di atas, seorang mukmin jika ingin memperbaiki  dan menyempurnakan keimanannya senantiasa memberikan manfaat kepada  selainnya, apakah hanya sekedar ikut berbahagia dengan kebahagiaan orang  lain atau bahkan membagi kebahagiaannya dengan orang tersebut. Jika  demikian sikap seorang mukmin, maka mana mungkin ia bergembira dengan  penderitaan dan kesusahan saudaranya yang menimpanya. Apalagi selalu  menimbulkan kesulitan dan penderitaan itu kepada saudaranya. Misalnya;  mengambil sebahagian hartanya berupa mencuri, merampas, menipu dan  sebagainya. Menumpahkan atau meneteskan darahnya berupa memukul,  menendang, menyikut dan sebagainya. Atau merusak kemuliaannya dalam  bentuk memfitnah (buhtan), menggunjing (ghibah), namimah, mencari-cari  aibnya (tajassus) dan sebagainya.
Jika hal tersebut ia lakukan, berarti ia adalah orang yang tidak  sempurna keimanannya atau boleh jadi ia akan masuk ke dalam golongan  munafikin, sebagaimana telah dijelaskan di dalam ayat-ayat berikut,
إن تُصِبْكَ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَ إِن تُصِبْكَ مُصِيبَةٌ  يَقُولُوا قَدْ أَخَذْنَا أَمْرَنَا مِن قَبْلُ وَ يَتَوَلَّوْا وَ هُمْ  فَرِحُونَ
Jika kamu mendapat suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang  karenanya dan jika kamu ditimpa oleh sesuatu bencana, mereka berkata:  “Sesungguhnya kami sebelumnya telah memperhatikan urusan kami (tidak  pergi perang)” dan mereka berpaling dengan rasa gembira. [al-Bara’ah/ 9:  50].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,  “Terdapat penjelasan tentang kegembiraan kaum munafikin dan kafirin  dengan sesuatu yang menyusahkan kaum muslimin. Terdapat penjelasan  tentang keputus-asaan mereka terhadap kegembiraan kaum muslimin. Ini  adalah tanda-tanda kemunafikan yang muncul dari setiap orang munafik”. [31]
إِن تَمْسَسْكُم حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَ إِن تُصِبْكُمْ  سَيِّـــئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا وَ إِن تَصْبِرُوا وَ تَتَّقُوا لاَ  يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْـــئًا إِنَّ اللهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ
Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi  jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu  bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak  mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala  apa yang mereka kerjakan. [ QS. Ali Imran/ 3: 120].
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً  مِن دُونِكُم لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ  بَدَتِ اْلبَغْضَاءُ مِن أَفْوَاهِهِمْ وَ مَا تُخْفِى صُدُورُهُمْ  أَكْــبَرُ قَدْ بَيَّــنَّا لَكُمُ اْلأَيَاتِ إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman  kepercayaanmu, orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak  henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa  yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa  yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh  telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.  [QS. Ali Imran/ 3: 118].
Demikian beberapa dalil yang menjelaskan sifat kaum munafikin dan  kafirin yang selalu senang dan berbahagia dengan penderitaan dan  kesusahan kaum muslimin dan senantiasa sedih dan kesal dengan  kebahagiaan kaum muslimin. Maka bagaimana mungkin mereka ikut prihatin  dan bersedih dengan mushibah dan mudlarat yang menimpa kaum muslimin  lalu ikut membantu meringankan penderitaan tersebut. Yang ada, merekalah  yang seringkali menimpakan mushibah dan mudlarat kepada kaum muslimin.  Acapkali mereka membuat makar, tipu daya dan berbagai intrik lainnya  untuk mencelakakan kaum muslimin. Ketika ada di antara kaum muslimin  mendapat kesusahan dengan sebab makar mereka, maka mereka senang dan  puas dengan perbuatan mereka tersebut. Subhaanallah, amat buruk apa yang  mereka lakukan.
Inilah sifat kaum kafirin dan munafikin yang jelas sangat jauh  berbeda dengan sifat kaum mukminin. Yang ini ke arah barat dan yang itu  ke arah timur, keduanya tidak akan pernah bertemu dan tidak akan pula  seiring sejalan.
Maka Allah Subhanahu wa ta’ala selalu mendorong hambanya yang beriman  agar senantiasa bertakwa kepada-Nya dimanapun, kapanpun dan bersama  siapapun. Sebab dengan keimanan dan ketakwaan itulah, ia menjadi orang  sangat peduli terhadap saudara-saudaranya. Jika saudaranya ada yang  kesusahan ia akan berusaha semampunya untuk menolongnya atau minimal  ikut merasakan kesusahan tersebut. Apabila saudaranya mendapatkan  kebahagiaan maka ia akan turut senang dengannya tanpa ada kedengkian  sedikitpun di dalam hatinya.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَ لَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَ أَنتُم مُّسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan  sebenar-benar takwa kepada-Nya. Dan janganlah sekali-kali kamu mati  melainkan dalam keadaan beragama Islam. [QS. Ali Imran/ 3: 102].
إِنَّ أَكْـــرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَــاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيــرٌ
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah  orang yang paling taqwa diantara kalian. Sesungguhnya Allah Maha  mengetahui lagi Maha Mengenal. [QS. Al-Hujurat/49: 13].
عن أَبي ذر رضي الله عنه قَالَ: قَالَ لىِ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: اتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ
Dari Abu Dzarr radliyalllahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu  alaihi wa sallam telah bersabda kepadaku, “Bertakwalah engkau kepada  Allah dimanapun engkau berada”. [HR at-Turmudziy: 1987 dan Ahmad: V/  153, 158, 228, 236. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan]. [32]
Ayat dan hadits di atas mewakili dalil-dalil lainnya yang  memerintahkan setiap muslim untuk senantiasa bertakwa kepada Allah Jalla  Jalaluhu, sebab ketakwaan kepada-Nya itu dapat mendatangkan banyak  kebaikan di dunia dan akhirat. Sebab di antara makna takwa adalah  menjaga dirinya dari marah, murka dan siksaan Allah Tabaroka wa ta’ala.  Hal itu dengan cara melakukan ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat  kepada-Nya.
Seorang muslim jika takut terhadap murka dan siksaan Allah Subhanahu  wa ta’ala  maka ia tentu akan mengerjakan berbagai amalan yang  menunjukkan ketaatan kepada-Nya dengan kadar kesanggupannya dan juga  akan berusaha untuk menjauhi berbagai perbuatan maksiat dengan usaha  yang maksimal dan optimal. Dan tentunya juga ia akan meninggalkan  kemaksiatan lisan berupa perilaku mengghibah atau memfitnah saudaranya  tanpa sungkan dan tidak berperi-kemanusiaan, mencela atau memakinya  seenak udelnya tanpa perasaan, menghina dan merendahkannya ketika  terjadi perselisihan dengannya dan lain sebagainya.
Dengan ketakwaan, ia akan dapat membedakan antara yang hak dengan  yang batil, yang zholim dengan yang adil, serta berita yang mengandung  ghibah dengan berita mubah yang layak tampil. Sebagaimana ia dapat  membedakan antara siang dengan malam atau dapat merasakan perbedaan  terang dengan gelap temaram.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن تَتَّقُوا اللهَ يَجْعَل  لَّكُمْ فُرْقَــــانًا وَ يُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـــئَاتِكُمْ وَ  يَغْفِرْ لَكُمْ وَ اللهُ ذُو اْلفَضْلِ اْلعَظِيمِ
Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Ia akan memberikan kepadamu furqoon (pembeda) dan Ia akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan  mengampuni (dosa-dosa)mu. dan Allah mempunyai karunia yang besar. [QS.  Al-Anfal/8: 29].
Allah Azza wa Jalla telah menjanjikan kepada kaum mukminin yaitu jika  mereka menjaga ketakwaan kepada Allah Jalla wa Ala maka Allah akan  menganugerahkan furqon kepada mereka, yaitu sifat atau sikap  yang dapat membedakan antara yang benar dan yang salah. Sehingga dengan  sifat inilah seorang muslim dapat melihat dengan jelas bahwa ghibah yang  selama ini dilakoni, disaksikan dan disimak orang banyak dengan istilah  infotainment dan sejenisnya adalah sesuatu yang telah jelas  keharamannya. Meskipun dengan dalih untuk kemashlahatan dan kebaikan  umat manusia umumnya dan kaum muslimin khususnya.
8). Menyibukkan diri dengan berbagai amal ibadah dan berdzikir.
Seringkali seseorang menyibukkan dirinya dengan mengghibahi orang  lain lantaran tidak mempunyai kegiatan yang dapat melupakannya dari  perbuatan itu. Banyak waktu yang terluang, banyak kesempatan baiknya  yang terbuang dan umurnyapun makin menjadi berkurang ketika ia  menghabiskannya dengan hal-hal yang tidak bermanfaat bahkan merugikan  dirinya di dunia dan akhirat. Ia habiskan hidupnya untuk berkubang dosa  untuk tujuan yang akan menghancurkan dirinya sendiri di neraka, tetapi  ia dalam keadaan tidak menyadarinya. Ia langkahkan kakinya hanya untuk  menyelidik aib dan kesalahan saudaranya, ia arahkan hatinya cuma untuk  berburuk sangka dan berpikiran negatif kepadanya dan ia gerakkan lisan  dan basahkan bibirnya semata-mata untuk menggibah. Coba jikalau ia  mengaktifkan semuanya itu untuk tujuan-tujuan yang positif tentu itu  akan lebih baik baginya. Mengisi masa luang dan waktu kosong untuk  mempelajari, memahami dan mengamalkan serta menyebarkan ajaran agamanya.  Atau mencari dan memberi nafkah untuk anak dan istri, bersilaturahmi  dengan kerabat dan shahabat serta bersosialisasi dengan masyarakat  dengan cara yang ma’ruf, maka hal itu akan lebih bernilai.
Allah Subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan setiap muslim untuk  berlomba dan bersegera di dalam mengerjakan berbagai kebaikan. Selain  untuk bekal dan persiapannya untuk menghadap dan menuju ke kampung  akhirat juga untuk menghabiskan waktunya di dalam ketaatan kepada Allah  Azza wa Jalla dan rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Sehingga  dengan demikian tidak ada lagi waktu yang tersisa untuk menyelidik  kekurangan dan aib saudaranya serta menyebarluaskannya kepada khalayak  dalam bentuk ghibah atau fitnah.
فَاسْتَبِقُوا اْلخَيْـــرَاتِ
Maka berlomba-lombalah (dalam mengerjakan) kebaikan. [QS. al-Baqarah/ 2: 146].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Allah  Subhanahu wa ta’ala menyuruh para hamba-Nya untuk bersegera kepada  kebaikan-kebaikan dan berlomba-lomba di dalam mengerjakan amal shalih”. [33]
وَ سَــارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِن رَّبِّكُمْ وَ جَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَ اْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga  yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang  yang bertakwa. [QS’ Ali Imran/3: 133].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Allah  Subhanahu wa ta’ala telah menganjurkan para hamba-Nya untuk bergegas  kepada perbuatan-perbuatan baik dan bersegera untuk memperoleh kedekatan  (dengan Allah Azza wa Jalla) dan berusaha untuk memasuki surga, yang  luasnya adalah seluas langit dan bumi. Maka jika (luasnya saja seperti  itu) bagaimana dengan keadaan jarak panjangnya??”. [34]
Bahkan juga Allah Jalla Dzikruhu memerintahkan kepada para hamba-Nya  yang beriman untuk bergegas untuk meraih ampunan dari-Nya dan surga-Nya  yang luasnya itu laksana langit dan bumi. Semuanya itu diperuntukkan  untuk hamba-Nya yang bertakwa.
Perintah menyegerakan amal dalam rangka mendapat ampunan dan surga  itu harus cepat-cepat ditunaikan sebelum datangnya berbagai fitnah yang  diserupakan kepingan-kepingan malam yang gelap gulita. Yakni, fitnah  (cobaan) itu akan datang silih berganti tiada henti, hilang satu fitnah  maka fitnah yang lain akan datang lagi. Maka seringkali terjadi, ada  seseorang di waktu paginya beriman lalu pada waktu sore harinya karena  sesuatu hal ia menjadi kafir. Atau di waktu sorenya ia beriman namun di  waktu paginya ia menjadi kafir. Hal itu dikarenakan ia telah menjual  agama dan keyakinannya untuk keuntungan beberapa gelintir dari  kenikmatan dunia yang semu lagi hampa.
عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله  عليه و سلم قَالَ: بَادِرُوْا بِاْلأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ  اْلمـُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَ يُمْسىِ كَافِرًا أَوْ  يُمْسِى مُؤْمِنًا وَ يُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ  الدُّنْيَا
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu  alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah mengerjakan amal-amal shalih  sebelum datangnya fitnah-fitnah yang laksana kepingan-kepingan malam  gelap gulita. Seseorang di waktu paginya ia beriman dan di sore harinya  ia menjadi kafir. Atau di waktu sorenya ia beriman dan di pagi harinya  ia menjadi kafir sebab ia telah menjual agamanya hanya untuk beberapa  gelintir dari keuntungan dunia”. [HR Muslim: 118, Ahmad: II/ 304, 523  dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [35]
Jika demikian, tatkala Allah Subhanahu wa ta’ala menganjurkan setiap  manusia, khususnya muslim agar setelah selesai mengerjakan suatu  pekerjaan hendaklah ia bergegas untuk mengerjakan pekerjaan yang  lainnya. Janganlah ia membiarkan kegiatan dan aktifitasnya yang  positifnya itu terhenti sedangkan waktu itu tetap berjalan. Sebab jika  ia diam terhenti, maka setan akan memanfaatkannya dengan membujuk dan  mengajaknya kepada hal-hal yang tiada berarti dan bahkan menyeretnya  kepada berbagai dosa dan kesalahan yang pasti.
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ وَ إِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah  dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Rabbmulah  hendaknya engkau berharap. [QS. Asy-Syarh/ 94: 7-8].
Ayat ini merupakan jalan hidup yang mesti ditempuh oleh setiap muslim  untuk meraih kesuksesan dunia dan akhirat. Yaitu apabila telah selesai  melaksanakan amalan-amalan akhirat maka jangan lupa segera melaksanakan  amalan dunia, atau selesai dari melaksanakan amalan-amalan dunia maka  selanjutnya ia segera melaksanakan amalan-amalan akhirat. Misalnya; jika  seorang muslim telah selesai mengerjakan sholat shubuh maka kerjakan  dzikir dan berdoa kepada Allah ta’ala, lalu jika telah selesai darinya  maka laksanakan pekerjaan dunia semisal pergi ke sekolah untuk belajar  atau ke kantor untuk mencari nafkah, begitu seterusnya.
Janganlah ia menyisakan sedikitpun waktu dan kesempatannya terbuang  percuma tanpa nilai dan pahala di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala atau  bahkan melakukan berbagai dosa dan kejahatan yang akan mendatangkan  kerugian baginya kelak di hari kiamat.
Hendaklah hamba muslim tersebut mengisi hidupnya dengan berbagai  kegiatan yang mendatangkan manfaat baginya di dunia dan akhirat.  Terlebih jika ia mampu melakukan ibadah akhirat di sela-sela ibadah  dunianya. Semisal; di sela-sela belajar atau pekerjaannya hendaklah  bibirnya melantunkan dzikir atau membaca ayat-ayat alqur’an dengan suara  yang tidak di dengar orang lain. Perilaku ini jelas lebih baik dan  tepat ketimbang ia merangkai kata demi kata yang bertujuan untuk  menceritakan aib dan kekurangan orang lain dalam bentuk ghibah atau  fitnah, menggerutu dengan kalimat-kalimat yang tidak layak diucapkan  oleh seorang muslim, mencela perbuatan orang lain dan sebagainya.
Lisan yang gemar berdzikir, membaca alqur’an, memberi nashihat dan  semisalnya adalah sebaik-baik apa yang dimiliki oleh seorang muslim.  Lebih dari memiliki harta melimpah, kendaraan dan rumah yang mewah,  jabatan dan kedudukan yang tinggi lagi bernilai tambah dan sebagainya.  Sebagaimana telah disebutkan di dalam hadits di bawah ini,
عن ثوبان رضي الله عنه قال: لَمــَّا نَزَلَتْ ((وَ الَّذِينَ  يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَ اْلفِضَّةَ وَ لَا يُنفِقُونَهَا فِى سَبِيلِ  اللهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ)) قَالَ: كُناَّ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ  صلى الله عليه و سلم فىِ بَعْضِ أَسْفَارِهِ فَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ:  أُنْزِلَ فىِ الذَّهَبِ وَ اْلفِضَّةِ مَا أُنْزِلَ مَا عَلِمْنَا أَيَّ  اْلماَلِ خَيْرٌ نَتَّخِذُهُ؟ فَقَالَ: أَفْضَلُهُ (وَ فىِ رِوَايَةٍ:  لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ) لِسَانٌ ذَاكِرٌ وَ قَلْبٌ شَاكِرٌ وَ زَوْجَةٌ  مُؤْمِنَةٌ تُعِيْنُهُ عَلَى إِيمْاَنِهِ (وَ فىِ رِوَايَةٍ: تُعِيْنُ  أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ اْلآخِرَةِ)
Dari Tsauban radliyallahu anhu berkata, “Ketika turun ayat ((Dan  orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada  jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan  mendapat) siksa yang pedih. QS. Al-Bara’ah/9: 34))”. Ia berkata, “kami  pernah bersama Rosulullah Shalllallahu alaihi wa sallam di sebahagian  perjalanannya”. Sebahagian shahabat bertanya, “Telah turun ayat tentang  emas dan perak yang kami tidak ketahui, lalu harta apakah yang terbaik  yang boleh kami ambil?”. Beliau menjawab, “Yang paling utama (dalam satu  riwayat, “Hendaklah seseorang di antara kalian mengambil) lisan yang  suka berdzikir, hati yang senantiasa bersyukur dan istri yang beriman  yang membantunya atas keimanannya”. (Di dalam satu riwayat, “yang  membantu seseorang di antara kalian di dalam perkara akhirat)”. [HR  at-Turmudziy: 3094, Ibnu Majah: 1856 dan Ahmad: V/ 278, 282. Berkata  asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [36]
عَن أبى أمامة عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ:  قَلْبٌ شَـاكِرٌ وَ لِسَـانٌ ذَاكِرٌ وَ زَوْجَةٌ  صَاِلحَةٌ تُعِيْنُكَ  عَلَى أَمْرِ دُنْيَاكَ وَ دِيْنَكَ خَيْرُ مَا اكْتَنَزَ النَّاسُ
Dari Abu Umamah radliyalllahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa  sallam bersabda, “Hati yang senantiasa bersyukur, lisan yang suka  berdzikir dan istri shalih yang gemar membantumu di atas perkara dunia  dan agamamu adalah sebaik-baik apa yang disimpan oleh manusia”. [HR  al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [37]
Dua hadits di atas menerangkan bahwa sebaik-baik simpanan manusia,  khususnya seorang muslim adalah hati yang senantiasa bersyukur, lisan  yang suka berdzikir dan istri shalih yang gemar membantunya di atas  perkara-perkara dunia dan akhirat. Bukan seperti anggapan kebanyakan  orang yang menyangka bahwa simpanan atau tabungan yang terbaik bagi  mereka adalah uang, emas, perak, intan, mutiara, deposito, saham  perusahaan, tanah luas, rumah kontrakan yang banyak dan sebagainya. Ini  adalah suatu anggapan yang keliru dan persangkaan yang semu, semua harta  itu suatu saat akan meninggalkannya atau ditinggalkan olehnya. Yang  tertinggal hanyalah jasadnya yang terbungkus kain kafan lagi terbujur  kaku dalam liang lahad dimakan ulat tanah, disiksa dengan berbagai siksa  kubur dan ditemani oleh amal buruknya sampai hari kiamat.
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى  الله عليه و سلم: يَتْبَعُ اْلمـَيِّتَ ثَلاَثَةٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَ  يَبْقىَ وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَ مَالُهُ وُ عَمَلُهُ فَيَرْجِعُ  أَهْلُهُ وَ مَالُهُ وَ يَبْقَى عَمَلُهُ
Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata, telah bersabda  Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Ada tiga perkara yang akan  mengikuti jenazah. Lalu akan kembali dua perkara dan akan tinggal  (bersamanya) satu perkara. Yang akan kembali adalah keluarga dan  hartanya dan yang akan tinggal menemaninya adalah amalnya”. [HR Muslim:  2960, al-Bukhoriy: 6514, at-Turmudziy: 2379, an-Nasa’iy: IV/ 53 dan  Ahmad: III/ 110. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[38]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat  dorongan untuk mengerjakan perbuatan yang dapat tinggal bersama dengan  manusia, yaitu amal shalih agar menjadi temannya di dalam kubur ketika  orang-orang kembali pulang dan meninggalkannya sendirian”. [39]
Jika seorang muslim membiasakan lisannya untuk berdzikir kepada Allah  Subhanahu wa ta’ala dengan yang dicontohkan dan dianjurkan oleh  Rosullah  Shallallahu alaihi wa sallam atau melazimkannya untuk  melantunkan ayat-ayat alqur’an maka lisannya akan terpelihara dari  membicarakan kekurangan dan aib saudaranya dalam bentuk ghibah. Jika  waktunya dipergunakan untuk mendatangi kajian-kajian agama, menghafal  ayat-ayat alqur’an dan hadits-hadits nabawiy maka tidak ada waktu lagi  baginya untuk melangkahkan kaki dari rumah ke rumah yang lain, dari satu  orang kepada orang lain sampai ke berbagai pelosok bumi hanya untuk  menyelidik berbagai aib saudaranya lalu menebarkan ghibah atau fitnah  tentangnya.
Jadi cara yang terbaik dan paling tepat bagi setiap muslim untuk  menghindar, meninggalkan dan menanggalkan ghibah adalah mengisi,  menyibukkan diri dan menghabiskan waktunya dengan berbagai kegiatan  ibadah yang diridloi Allah Jalla Jalaluhu, semisal menghadiri  kajian-kajian agama dalam rangka menuntut ilmu, berdzikir dengan  dzikir-dzikir yang syar’iy, melaksanakan sholat atau shaum sunnah,  membaca dan menghafal alqur’an, membaca dan menelaah buku-buku agama  yang syar’iy, bercengkrama dengan anak dan istri, bersilaturrahmi kepada  kerabat dan shahabat dan lain sebagainya. Sehingga tidak ada waktu yang  tersisa untuk menyelidiki aib dan kesalahan orang lain, mengerjakan  ghibah atau mendengarkannya.
9). Membayangkan bagaimana jika anda yang dighibah
Biasanya setiap manusia sangat pandai memperhatikan dan melihat  berbagai kesalahan orang lain, tetapi ia sangat bodoh, pura-pura bodoh  atau masa bodoh terhadap aib dan kesalahannya sendiri. Sebagaimana di  dalam atsar di bawah ini,
عن أبى هريرة رضي الله عنه قَالَ: يُبْصِرُ أَحَدُكُمُ  اْلقَذَاةَ فىِ عَيْنِ أَخِيْهِ وَ يَنْسىَ اْلجِذْلَ أَوِ اْلجِذْعَ فىِ  عَيْنِ نَفْسِهِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, “Seseorang diantara  kalian melihat kotoran pada mata saudaranya namun ia melupakan batang  pohon besar yang berada di hadapan matanya”.  [Telah mengeluarkan atsar  ini al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 592, Ibnu al-Mubarak, Ibnu  Hibban dan Abu Nu’aim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih Mauquf].[40]
Jika dalam pepatah kita, kuman di seberang lautan nampak tetapi gajah  di pelupuk matanya tidak nampak. Begitulah manusia, amat teliti dan  cermat melihat kesalahan dan kekurangan orang lain, sekecil apapun.  Tetapi jika untuk melihat kesalahan dan kekurangannya, ia tidak pernah  tahu dan tidak mau tahu, padahal kesalahannya sangat besar. Bahkan jika  dihadapkan kepadanya berbagai kesalahan dan aibnya, ia tidak akan terima  dan mendustakannya, seakan-akan ia tidak pernah melakukannya.
Telah diterangkan sebelumnya ancaman Allah Subhanahu wa ta’ala  terhadap orang yang gemar menyelidik dosa dan kesalahan saudaranya lalu  menyebarkan kepada khalayak ramai. Bahwa Allah Azza wa Jalla akan  membalasnya dengan menyelidik dosa dan kesalahannya juga lalu  menyebarkannya kepada setiap orang kendatipun orang tersebut melakukan  dosanya itu secara sembunyi-sembunyi di tengah-tengah rumahnya. Jadi  ghibah orang itu akan Allah Jalla wa Ala balas dengan ghibah pula di  dunia ini, bahkan boleh jadi hasilnya lebih buruk dari yang  dilakukannya. Belum lagi dengan balasan keburukan lainnya yang siap  menanti di dalam kubur dan di akhirat nanti, tentu lebih besar dan lebih  pedih.
Di samping itu, keburukan ghibah terkadang akan dirasakan langsung  oleh objek ghibah dalam bentuk rusak dan hilangnya kemuliaan dan harga  dirinya di depan orang banyak sehingga ia seakan tidak bermuka di  hadapan mereka. Coba seandainya balasan ghibah tersebut dibalas dengan  segera oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam bentuk orang yang suka  mengghibah tersebut dighibah oleh selainnya lalu ia merasakan kepahitan  hidup akibat dighibah.
Maka seorang muslim jika tidak ingin dighibah oleh orang lain maka  wajib baginya untuk menjauhi dan menghindari ghibah apalagi fitnah.  Terlebih ia pernah mengalami dighibah oleh orang lain lalu merasakan  pahit getirnya hidup akibat dighibah.
Dalam pepatah lainnya ada dikatakan, jika tidak ingin dicubit oleh  orang lain maka jangan suka mencubit orang lain pula. Artinya jika  seorang muslim tidak ingin disakiti dan dizholimi dalam bentuk dighibah  atau difitnah oleh orang lain maka janganlah ia suka menyakiti dan  menzholimi orang lain dalam bentuk seperti itu pula.
Apabila muslim itu mempunyai keyakinan yang kuat, hati yang sehat dan  akal yang hebat maka niscaya ia akan selalu membayangkan atau  memikirkan bahwa dirinya yang dighibah oleh orang lain lalu mengalami  kepedihan yang sangat mendalam. Maka niscaya ia enggan jika kepedihan  akibat ghibah itu menimpa saudaranya yang lain.
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah menashihati seorang  pria yang meminta idzin untuk berzina dengan wanita manapun yang ia  sukai. Lalu Beliau membuka simpul hati dan akal sehatnya yang selama itu  terbelenggu kebodohan lalu memisalkan kepadanya yakni jika perbuatan  zina itu menimpa ibu, putri, saudari atau bibinya apakah ia akan  menyukainya?. Secara spontanitas ia menjawab, “Tidak”. Artinya setiap  manusia dilahirkan dalam keadaan fitrahnya yaitu tidak berkeinginan  berbagai keburukan dan dosa itu akan menimpa diri dan keluarganya.
عن أبي أمامة قَالَ: إِنَّ فَتىً شَابًّا أَتىَ النَّبِيَّ  صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ائْذَنْ لىِ بِالزِّنَا  فَأَقْبَلَ اْلقَوْمُ عَلَيْهِ فَزَجَرُوْهُ وَ قَالُوْا: مَهْ مَهْ  فَقَالَ: ادْنُهُ فَدَنَاهُ مِنْهُ قَرِيْبًا قَالَ: فَجَلَسَ قَالَ: أَ  ُتحِبُّهُ ِلأُمِّكَ؟ قَالَ: لاَ وَ اللهِ جَعَلَنِيَ اللهُ فِدَاءَكَ  قَالَ: وَ لاَ النَّاسُ يُحِبُّوْنَهُ لِأُمَّهَاتِهِمْ قَالَ: أَ  فَتُحِبُّهُ ِلابْنَتِكَ قَالَ: لاَ وَ اللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ  جَعَلَنِيَ اللهُ فِدَاءَكَ قَالَ: وَ لاَ النَّاسُ يُحِبُّوْنَهُ  لِبَنَاتِهِمْ قَالَ: أَ فَتُحِبُّهُ لِأُخْتِكَ ؟ قَالَ: لاَ وَ اللهِ  جَعَلَنِيَ اللهُ فِدَاءَكَ قَالَ: وَ لاَ النَّاس يُحِبُّوْنَهُ  ِلأَخَوَاتِهِمْ قَالَ: أَ فَتُحِبُّهُ لِعَمَّتِكَ؟ قَالَ: لاَ وَ اللهِ  جَعَلَنِيَ اللهُ فِدَاءَكَ قَالَ: وَ لاَ النَّاسُ يُحِبُّوْنَهُ  لِعَمَّاتِهِمْ قَالَ: أَ فَتُحِبُّهُ لِخَالَتِكَ ؟ قَالَ: لاَ وَ اللهِ  جَعَلَنِيَ اللهُ فِدَاءَكَ قَالَ: وَ لاَ النَّاسُ يُحِبُّوْنَهُ  لِخَالاَتِهِمْ قَالَ: فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَيْهِ وَ قاَلَ: اللَّهُمَّ  اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَ طَهِّرْ قَلْبَهُ وَ حَصِّنْ فَرْجَهُ فَلَمْ يَكُنْ  بَعْدَ ذَلِكَ اْلفَتىَ يَلْتَفِتُ إِلىَ شَيْءٍ
Dari Abu Umamah berkata, ada seorang pemuda mendatangi Nabi  Shallallahu alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rosulullah! idzinkan  aku untuk berzina”. Maka orang-orangpun mendatanginya lalu menegurnya,  seraya berkata, “Mah, mah” (Apa-apaan sih kamu). Beliau bersabda,  “Dekatkan ia (kepadaku)”. Lalu iapun mendekat kepadanya, kemudian duduk.  Nabi bersabda, “Apakah engkau menyukai zina itu terjadi pada ibumu?”.  Ia menjawab, “Tidak, demi Allah wahai Rosulullah, Allah menjadikanku  sebagai tebusanmu”. Berkata (Abu Umamah), “Manusia juga tidak menyukai  zina itu terjadi pada ibu-ibu mereka”. Beliau bersabda, “Apakah engkau  menyukai zina itu terjadi pada putrimu?”. Ia menjawab, “Tidak, demi  Allah, wahai Rosulullah, Allah menjadikanku sebagai tebusanmu”. Berkata  (Abu Umamah), “Manusia juga tidak menyukai zina itu terjadi pada  putri-putri mereka”. Beliau bersabda, “Apakah engkau menyukai zina itu  terjadi pada saudarimu?”. Ia menjawab, “Tidak, demi Allah wahai  Rosulullah, Allah menjadikanku sebagai tebusanmu”. Berkata (Abu Umamah),  “Manusia juga tidak menyukai zina itu terjadi pada saudari-saudari  mereka”. Beliau bersabda, “Apakah engkau menyukai zina itu terjadi pada  saudari ayahmu?”. Ia menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai Rosulullah,  Allah menjadikanku sebagai tebusanmu”. Berkata (Abu Umamah), “Manusia  juga tidak menyukai zina itu terjadi pada saudari-saudari ayah mereka”.  Beliau bersabda, “Apakah engkau menyukai, zina itu terjadi pada saudari  ibumu?”. Ia menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai Rosulullah, Allah  menjadikanku sebagai tebusanmu”. Berkata (Abu Umamah), “Manusia juga  tidak menyukai zina itu terjadi pada saudari-saudari ibu mereka”.  Berkata Abu Umamah, lalu Beliau meletakkan tangannya kepada pemuda itu  lalu berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosanya, bersihkanlah hatinya dan  jagalah kemaluannya”. Maka setelah itu, pemuda tersebut tidak berpaling  sedikitpun kepada sesuatu.  [HR Imam Ahmad: V/ 256-257. Berkata  asy-Syaikh al-Albaniy: Hadits ini sanadnya adalah shahih]. [41]
Dengan bijak Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menashihati  seorang lelaki yang meminta idzin kepada beliau untuk mengerjakan salah  satu dari perbuatan dosa yaitu berzina. Rosulullah r tidak mencela,  memaki dan menyalah-nyalahkannya begitu saja namun dengan santun dan  halus beliau menasihatinya. Lalu mengingatkannya jika perbuatan tersebut  diperlakukan kepada salah seorang wanita dari keluarganya, tentu iapun  tidak suka.
Apabila ia tidak menyukai perbuatan tersebut menimpa diri dan  keluarganya maka niscaya iapun tidak menyukai jika perbuatan tersebut  menimpa orang lain. Sebab hubungan satu muslim dengan muslim yang lain  dalam perasaan cinta kasih, kasih sayang dan tolong menolong diibaratkan  seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuhnya merasakan sakit maka  anggota tubuh yang lainnya akan merasakan sakit pula.
Secara normal, tangan tidak akan menginginkan kepala, mata, telinga,  kaki, badan atau anggota tubuh yang lainnya merasakan sakit. Sehingga ia  berusaha untuk menghindarkan semuanya itu dari berbagai bahaya yang  akan menimpanya. Tangan berusaha menepis percikan api yang mengenai  badannya, menangkis pukulan yang dialamatkan kepadanya, menghalau debu  atau serangga yang mengenai matanya dan sebagainya. Kaki dengan spontan  melompat untuk menghindar dari kendaraan yang melaju kencang mengarah  kepada dirinya, menendang penghalang yang merintangi perjalanannya,  berlari dari kejaran anjing atau sesuatu yang dapat mencelakainya dan  sebagainya.
Jika satu anggota tubuh berusaha menyelamatkan dan menghindarkan yang  lainnya dari berbagai bahaya maka mustahil di antara mereka ada yang  berusaha untuk mencelakakan yang lainnya.
Pun demikian seorang muslim yang diibaratkan seperti satu tubuh  tersebut. Di antara mereka niscaya akan berusaha untuk menyelamatkan dan  menghindarkan saudaranya dari berbagai kemalangan dan bahaya. Maka  dengan ini, bagaimana mungkin di antara mereka ada yang berkeinginan  untuk menimpakan kemalangan dan bahaya itu kepada saudaranya tersebut.
Perumpamaan atau ibarat tersebut telah diabadikan oleh Rosulullah r di dalam hadits berikut,
عن النعمان بن بشير رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و  سلم قَالَ: مَثَلُ اْلمـُؤْمِنِيْنَ فىِ تَوَادِّهِمْ وَ تَرَاحُمِهِمْ وَ  تَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ اْلجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى  لَهُ سَائِرُ اْلجَسَدِ بِالسَّهْرِ وَ اْلحُمَّى
Dari an-Nu’man bin Basyir radliyalllahu anhu dari Nabi Shallallahu  alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang-orang mukmin di dalam rasa  cinta kasih, kasih sayang dan tolong menolong mereka itu adalah seperti  sebuah tubuh. Apabila satu anggota tubuh merasakan sakit maka seluruh  anggota tubuh lainnya akan saling mengaduh disebabkan begadang dan  demam”. [HR al-Bukhoriy: 6011, Muslim: 2586 dan Ahmad: IV/ 270. Berkata  asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [42]
Maka seorang muslim niscaya akan membela, mempertahankan dan  memperjuangkan kehormatan dan harga diri saudaranya yang sedang menjadi  objek ghibah dengan sekuat tenaga sebagaimana ia ingin dibela  kehormatannya oleh saudaranya seagama. Jika demikian maka tentulah tidak  akan terlintas dalam pikirannya dan tidak akan pula tergerak dalam  hatinya keinginan untuk mengoyak dan merusak harga diri saudaranya  tersebut dengan cara mengghibah pula.
10). Berdoa dari keburukan lisan dan perbuatan munkar.
Kiat lain yang dapat membantu agar terhindar dari perbuatan ghibah  adalah berdoa dan memohon kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar  terhindar dan dijauhkan dari keburukan lisan dan akhlak yang tercela.
Berdoa adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla,  sebab doa itu adalah ibadah sedangkan ibadah itu diwajibkan kepada  setiap muslim.
وَ قَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ  الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِى سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ  دَاخِرَينَ
Dan Rabbmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan  Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri  dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”.  [QS. al-Mukmin/ 40: 60].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,  “Terdapat keutamaan doa. Sungguh-sungguh telah datang bahwa Nabi  Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Benar-benar seseorang di antara  kalian meminta kebutuhannya kepada Rabbnya sehingga (ia meminta) tali  sendalnya”.
Doa yang terkabul itu mempunyai beberapa syarat di antaranya; hatinya  terikat kepada Allah lagi berpaling dari selain-Nya, tidak meminta  sesuatu yang di dalamnya terkandung dosa, tidak berlebih-lebihan di  dalam berdoa. Yakni ia meminta sesuatu yang tidak berlaku di dalamnya  sunnah Allah, misalnya ia meminta melihat surga dalam keadaan terjaga,  meminta kembali muda padahal ia seorang yang sudah tua renta atau  meminta dikaruniakan seorang anak padahal ia tidak menikah”. [43]
Di dalam ayat dan penjelasan di atas diketahui bahwa Allah Subhanahu  wa ta’ala menjanjikan kepada setiap hamba muslim yang berdoa kepada-Nya  dengan pengkabulan selama tidak ada penghalangnya. Bahkan Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam telah menerangkan bahwa doa itu adalah  ibadah, artinya doa itu diperintahkan untuk dikerjakan. Maka barangsiapa  yang melakukannya berarti ia telah mentaati perintah Allah Jalla wa Ala  dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam, dan ia akan mendapatkan  pahala dan balasan kebaikan. Namun barangsiapa yang meninggalkannya maka  Allah Tabaroka wa ta’ala akan murka kepadanya dan ia kelak akan  dimasukkan ke dalam neraka Jahannam karena kesombongannya di dalam  berdoa kepada-Nya
.
عن النعمان بن بشير رضي االه عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله  عليه و سلم فىِ قَوْلِهِ ((ادْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ)) وَ قَالَ:  الدُّعَاءُ هُوَ اْلعِبَادَةُ وَ قَرَأَ ((ادْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ))  إِلىَ قَوْلِهِ ((دَاخِرِينَ))
Dari an-Nu’man bin Basyir radliyalllahu anhu dari Nabi Shallallahu  alaihi wa sallam tentang firman-Nya ((Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan  Kuperkenankan bagimu)). Beliau bersabda, “Doa itu adalah ibadah”, dan  Beliau membaca ((Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan  bagimu)) sampai kepada ((dalam keadaan hina dina)). [HR at-Turmudziy:  2969, 3237, 3372, al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 714, Abu  Dawud: 1479, Ibnu Majah: 3828 dan Ahmad: IV/ 267, 271, 276. Berkata  asy-Syaikh al-Albaniy: shahih].[44]
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : مَنْ لَمْ يَدْعُ اللهَ سبحانه غَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda  Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang tidak berdoa  kepada Allah -subhaanah- maka Ia akan murka kepadanya”. [HR Ibnu Majah:  3827, at-Turmudziy: 3373 dan Ahmad: II/ 477. Berkata asy-Syaikh  al-Albaniy: hasan].[45]
Berkata al-Imam al-Mubarakfuriy rahimahullah, “Karena meninggalkan  memohon (kepada Allah Subhanahu wa ta’ala) itu adalah sifat takabbur  (sombong) dan istighna’ (merasa cukup), dan hal tersebut tidak boleh bagi seorang hamba”. [46]
Jika seorang hamba muslim membiasakan diri berdoa dan meminta kepada  Allah Azza wa Jalla maka Ia sangat senang kepadanya namun kebalikannya  jika meminta kepada manusia maka ia akan marah dan tidak senang  kepadanya. Begitu pula jika hamba tersebut meninggalkan doa dan  permohonan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala maka Ia akan murka kepadanya  dan kebalikannya dengan manusia jika tidak diminta maka ia akan senang.
Keadaan tersebut telah dituangkan dalam bentuk syair, sebagaimana dikatakan, [47]
لاَ تَسْأَلَنَّ بُنَيَّ آدَمَ حَاجَةً       وَ سَلِ الَّذِى أَبْوَابُهُ لاَ تُحْجَبُ
اللهُ يَغْضَبُ إِنْ تَرَكْتَ سُؤَالَهُ   وَ بُنَيُّ آدَمَ حِيْنَ يُسْأَلُ يَغْضَبُ
Janganlah engkau meminta kebutuhan kepada manusia
Mintalah kepada Yang pintu-pintu-Nya selalu terbuka
Allah murka jika engkau meninggalkan permintaan kepada-Nya
Sedangkan manusia marah jika diminta.
Dari sebab itu, setiap hamba muslim yang menginginkan keridloan Allah  ta’ala, berbagai balasan kebaikan untuknya dan terkabul doanya  hendaklah membiasakan diri untuk memohon dan berdoa kepada Allah Azza wa  Jalla semata tidak kepada selain-Nya. Dan ia tidaklah mengabaikan-Nya  dengan meninggalkan permintaan dan doa kepada-Nya, sebab Ia akan murka  dan akan memberikan balasan keburukan kepadanya.
Doa dan permintaan itu memiliki tempat tersendiri bagi Allah  Subhanahu wa ta’ala, bahkan yang paling mulia. Dengan doa dan permintaan  ini Allah ta’ala merasakan kebanggaan ketika para hamba-Nya yang dengan  perasaan yang amat membutuhkan-Nya, meminta dan memohon dengan sangat  kepada-Nya agar dikabulkan segala keinginan dan harapannya.
عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللهِ مِنَ الدُّعَاءِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa  sallam bersabda, “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia bagi Allah daripada  doa”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 712, at-Turmudziy:  3370, Ibnu Majah: 3829 dan Ahmad: II/ 362. Berkata asy-Syaikh  al-Albaniy: hasan]. [48]
Bahkan doa itu dapat mendatangkan manfaat bagi yang melakukannya,  baik terhadap apa yang telah terjadi dan yang belum terjadi. Jika Allah  Subhanahu wa ta’ala mengabulkan doanya, maka boleh jadi dengan sebab doa  itu, ia dapat mengambil manfaat darinya. Misalnya, tatkala seorang kena  musibah lalu berdoa dengan beberapa permohonan kepada Allah Galla  Dzikruhu, maka Iapun akan memberikan kesabaran dan keteguhan hati serta  menganugrahkan sesuatu kepadanya yang lebih baik dari sebelum ia  mendapatkan musibah tersebut, sebagaimana doanya Ummu Salamah  radliyalllahu anha [49] atau doanya wanita hitam penghuni surga yang terkena penyakit ayan [50] dan selain keduanya.
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى  الله عليه و سلم: إِنَّ الدُّعَاءَ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَ  مِمَّا   لَمْ يَنْزِلْ فَعَلَيْكُمْ عِبَادَ اللهِ بِالدُّعَاءِ
Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya doa itu bermanfaat terhadap  apa yang telah menimpa dan apa yang belum menimpa. Dari sebab itu,  wahai para hamba Allah, hendaklah kalian berdoa”. [HR at-Turmudziy: 3548  dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan]. [51]
Atau dengan doa, seseorang yang berdoa dapat memohon sesuatu yang  mendatangkan kebaikan baginya, misalnya meminta agar Allah Azza wa Jalla  memberikan manfaat dari ilmunya yang selama ini dipelajarinya atau  meminta ilmu yang dapat mendatangkan manfaat baginya, memohon rizki yang  halal lagi baik, meminta istri dan anak shalih yang dapat menyejukkan  matanya dan lain sebagainya.
Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’iy yang dapat mendorong atau  memotivasi dirinya di dalam ketaatan dan beribadah kepada Allah  Subhanahu wa ta’ala sesuai dengan bimbingan alqur’an dan hadits-hadits  yang shahih. Atau ilmu yang dapat membentengi dirinya dari berbagai  perbuatan durhaka kepada Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi  wa sallam apakah berupa syirik, bid’ah, ghibah, fitnah dan lain  sebagainya.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى  الله عليه و سلم يَقُوْلُ: َاللَّهُمَّ انْفَعْنىِ  بِمَا عَلَّمْتَنىِ وَ  عَلِّمْنىِ مَا يَنْفَعُنىِ وَ زِدْنىِ عِلْمًا وَ اْلحَمْدُ ِللهِ عَلىَ  كُلِّ حَالٍ وَ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ عَذَابِ النَّارِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, Adalah Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, berilah manfaat kepadaku  apa yang telah Engkau ajarkan kepadaku, ajarkanlah kepadaku apa yang  memberi manfaat kepadaku dan tambahkanlah ilmu kepadaku. Segala puji  bagi Allah atas tiap keadaan dan aku berlindung kepada Allah dari adzab  neraka”.  [HR Ibnu Majah: 251, 3833 dan at-Turmudziy: 3599. Berkata  asy-Syaikh al-Albaniy: shahih ]. [52]
Yang tak kalah pentingnya adalah berdoa kepada Allah Subhanahu wa  ta’ala untuk berlindung dari berbagai perbuatan maksiat, yakni  dihentikan dari perbuatan maksiat yang masih ia lakukan atau dihindari  dan dijauhkan dari perbuatan tersebut yang belum ia kerjakan.
Misalnya berdoa meminta perlindungan kepada-Nya dari keburukan lisan  berupa ghibah, namimah, fitnah, dusta, bersaksi palsu dan selainnya.  Atau juga meminta perlindungan kepada-Nya dari akhlak-akhlak yang  tercela dan berbagai perbuatan mungkar lainnya.
عن شكل بن حُميد قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و  سلم فَقُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ عَلِّمْنىِ تَعَوُّذًا أَتَعَوَّذُ بِهِ  فَأَخَذَ بِيَدِى ثُمَّ قَالَ: قُلْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعىِ وَ  شَرِّ بَصَرِى وَ شَرِّ لِسَانىِ وَ شَرِّ قَلْبىِ وَ شَرِّ مَنِيِّ قَالَ:  حَتىَّ حَفِظْتُهَا
Dari Syakl bin Humaid berkata, aku pernah mendatangi Nabi Shallallahu  alaihi wa sallam. Lalu aku berkata, “Wahai Nabiyullah ajarkanlah  ta’awwudz kepadaku yang aku dapat berlindung dengannya!”. Beliau  memegang tanganku kemudian bersabda, “Katakanlah olehmu; Aku berlindung  kepada-Mu dari keburukan pendengaran, penglihatan, lisan,  hati dan air maniku (yakni farjiku). Ia (Syakl) berkata, “sehingga aku  dapat menghafalnya”. [HR an-Nasa’iy: VIII/ 255-256, 259, 260, Abu Dawud:  1551 dan at-Turmudziy: 3492. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [53]
عن زياد بن علاقة عَنْ عَمِّهِ قَالَ: كَانَ صلى الله عليه و  سلم يَقُوْلَ: اللَّهُمَّ إِنىِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ  اْلأَخْلاَقِ وَ اْلأَعْمَالِ وَ اْلأَهْوَاءِ
Dari Ziyad bin Alaqoh dari pamannya berkata, adalah Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah sesungguhnya aku  berlindung kepada-Mu dari berbagai kemungkaran akhlak dan amal serta  hawa nafsu”. [HR at-Turmudziy: 3591. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:  shahih]. [54]
عن علي رضي الله عنه عَنِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم  أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَامَ إِلىَ الصَّلاَةِ قَالَ: وَ اهْدِنىِ  لِأَحْسَنِ اْلأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لِأَحْسَنِ اْلأَخْلاَقِ إِلاَّ  أَنْتَ وَ اصْرِفْ عَنىِّ سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنىِّ سَيِّئَهَا  إِلاَّ اَنْتَ
Dari Ali radliyallahu anhu dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa  sallam, apabila hendak berdiri sholat, Beliau mengucapkan, “Tunjukkan  aku kepada akhlak yang baik, tidak ada yang dapat menunjukinya kecuali  Engkau. Hindarkan aku dari akhlak yang buruk, tidak ada yang dapat  menghindarkannya dariku kecuali Engkau”. [HR Muslim: 771, Abu Dawud:  760, an-Nasa’iy: II/ 130, at-Turmudziy: 3421, 3422 dan Ahmad: I/ 94-95,  102-103. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih]. [55]
عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: قَالَ  اللهُ تبارك و تعالى: يَا مُحَمَّدُ إِذَا صَلَّيْتَ فَقُلْ:  اَللَّهُمَّ  إِنيِّ أَسْأَلُكَ فِعْلَ اْلخَيْرَاتِ وَ تَرْكَ اْلمـُنْكَرَاتِ وَ حُبَّ  اْلمـَسَاكِيْنِ وَ إِذَا أَرَدْتَ بِعِبَادِكَ فِتْنَةً فَاقْبِضْنىِ  إِلَيْكَ غَيْرَ مَفْتُوْنٍ
Dari Ibnu Abbas berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam  bersabda, “Allah berfirman, “Ya Muhammad apabila engkau sholat maka  ucapkanlah, “Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu untuk  mengerjakan kebaikan, meninggalkan kemungkaran dan mencintai kaum  miskin. Dan jika Engkau menghendaki fitnah kepada para hamba-Mu, maka  wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terfitnah”. [HR at-Turmudziy: 3233,  3234 dan Ahmad: I/ 368. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [56]
Demikian beberapa rangkai doa yang sepatutnya dimunajatkan oleh  seorang hamba muslim kepada Allah Subhanahu wa ta’ala Rabb semesta alam.  Yang dengannya, mudah-mudahan setiap muslim dapat dijauhkan dan  dihindarkan oleh-Nya dari berbagai akhlak yang buruk lagi munkar yang  dihasilkan oleh lisannya. Sehingga tidak ada lagi yang keluar dari  lisannya berbagai keburukan semisal cercaan, makian, ghibah, fitnah,  namimah, dusta dan lain sebagainya. Tetapi yang ada hanyalah berbagai  perkataan yang baik lagi benar.
Semoga bermanfaat bagiku, keluargaku, kerabat dan shahabatku dan juga  seluruh kaum muslimin yang dapat mengambil ibrah dan pelajaran darinya.
Wallahu a’lam. Insyaa’ Allah masih berlanjut ke GHIBAH 7.
 [1] Aysar at-Tafasir: I/ 307.
 
 [2] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2089 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6743.  Telah mengeluarkan hadits semakna dengan ini al-Bukhoriy: 3265, Muslim:  2843, at-Turmudziy: 2589 dan Ahmad: I/ 313 dari Abu Hurairah  radliyallahu anhu, berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih. Lihat  Mukhtashor Shahiih Muslim: 1976, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2088 dan  Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6742.
 
 [3] Mukhtasor Shahih Muslim: 1978, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2033 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1680.
 
 [4] Lihat Pembahasan “BALASAN KEBURUKAN UNTUK SI PENGGHIBAH” (GHIBAH 3), bab 4). Akan menjadi orang yang bangkrut pada hari kiamat.
.[5] Mukhtashor Shahih Muslim: 1837, Shahih al-Adab al-Mufrad: 136, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1972, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5062 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1588
.[5] Mukhtashor Shahih Muslim: 1837, Shahih al-Adab al-Mufrad: 136, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1972, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5062 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1588
 [6] Bahjah an-Nazhirin: I/ 300.
 
 [7] Aysar at-Tafasir: II/ 438.
 
 [8] Shahih Sunan Ibni Majah: 183, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3913, 3914,  Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 70 dan Jami’ bayan al-Ilmi wa fadl-lihi:  12
 
 [9] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 55, Shahih Sunan at-Turmudziy:  2133, Shahih Sunan Ibni Majah: 180, 181, Silsilah al-Ahadits  ash-Shahihah: 1194, 1195, 1196, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6611, 6612  dan Jami’ Bayan al-Ilmi wa fadl-lihi: 74.
 
 [10] Bahjah an-Nazhirin: II/ 463.
 
 [11] Mukhtashor Shahih Muslim: 1888, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2134, 2159,  2348, Shahih Sunan Abi Dawud: 3096, 3097, Shahih Sunan Ibni Majah:182,  184, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 67, 68, 80 dan Shahih al-Jami’  ash-Shaghir: 6297, 6298.
 
 [12] Bahjah an-Nazhirin: I/ 333.
 
 [13] Shahih Sunan Ibni Majah: 3397 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 948.
 
 [14] Shahih Sunan Ibni Majah: 3219, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3193 dan Ghoyah al-Maram: 20.
 
 [15] Shahih Sunan at-Turmudziy: 5044, 5111, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1286 dan Misykah al-Mashobih: 2460.
 
 [16] Shahih Sunan Abii Dawud: 4083, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7982, Miyskah al-Mashobih: 5044 dan Ghoyah al-Maram: 420.
 
 [17] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1655 dan Shahih al-Jami ash-Shaghir: 7985.
 
 [18] Mukhtashor Shahih Muslim: 845, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7741 dan Misykah al-Mashobih: 3240.
 
 [19] Bahjah an-Nazhirin: I/ 360.
 
 [20] Syarh Riyadl ash-Shalihin: II/ 200.
 
 [21] Shahih Sunan Abi Dawud: 4046, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1937, Shahih  al-Jami’ ash-Shaghir: 3545, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 927 dan  Misykah al-Mashobih: 5019.
 
 [22] Shahih Sunan Abi Dawud: 4045, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1952, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7341 dan Misykah al-Mashobih: 5018.
 
 [23] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1945, Shahih Sunan Abi Dawud: 4276, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6689.
 
 [24] Bahjah an-Nazhirin: I/ 435.
 
 [25] Alat untuk meniup api pada pandai besi.
 
 [26] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5829 dan Misykah al-Mashobih: 5010.
 
 [27] Mukhtashor Shahih Muslim: 24, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4643, 4666,  Shahih Sunan at-Turmudziy: 2042, Shahih Sunan Ibni Majah: 55, Silsilah  al-Ahadits ash-Shahiiah: 73 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7583.
 
 [28] Bahjah an-Nazhirin: I/ 272.
 
 [29] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1876 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 930.
 
 [30] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3289 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 426.
 
 [31] Aysar at-Tafasir: II/ 379.
 
 [32] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1618, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 97 dan Misykah al-Mashobih: 5083.
 
 [33] Bahjah an-Nazhirin: I/ 168.
 
 [34] Bahjah an-Nazhirin: I/ 169.
 
 [35] Mukhtashor Shahih Muslim: 2038, Shahih al-Jami ash-Shaghir dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 758.
 
 [36] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2470, Shahih Sunan Ibni Majah: 1505 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2176.
 
 [37]  Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4409.
 
 [38] Mukhtashor Shahih Muslim: 2086, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1938, Shahih  Sunan an-Nasa’iy: 1829, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 8017 dan Misykah  al-Mashobih: 5167.
 
 [39] Bahjah an-Nazhirin: I/ 186.
 
 [40] Shahih al-Adab al-Mufrad: 460 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 33.
 
 [41] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 370.
 
 [42] Mukhtashor Shahih Muslim: 1774, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5849 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1083.
 
 [43] Aysar at-Tafasir: IV/ 547.
 
 [44] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2370, 2590, 2686, Shahih al-Adab al-Mufrad:  550, Shahih Sunan Abii Dawud: 1312, Shahih Sunan Ibni Majah: 3086,  Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3417 dan Misykah al-Mashobih: 2230.
 
 [45] Shahih Sunan Ibni Majah: 3085, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2686, Shahih  al-Jami’ ash-Shaghir: 2418 dan Misykah al-Mashobih: 2238.
 
 [46] Tuhfah al-Ahwadziy: IX/ 254.
 
 [47] Bahjah an-Nazhirin: II/ 539.
 
 [48] Shahih al-Adab al-Mufrad: 549, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2682, Shahih  Sunan Ibni Majah: 3087, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5392 dan Misykah  al-Mashobih: 2232.
 
 [49] Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim: 918, 919, Ahmad: VI/ 309 dan  al-Baihaqiy dari Ummu Salamah, dan dishahihkan oleh asy-Syaikh  al-Albaniy di dalam Mukhtashor Shahih Muslim: 461, Shahih al-Jami’  ash-Shaghir: 5764 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 34-35. Kisah tentang  wafatnya Abu Salamah Abdullah bin Abdul Asad al-Makhzumiy radliyallahu  anhu, lalu Ummu Salamah berdoa sebagaimana diajarkan oleh Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam maka Allah Subhanahu wa ta’ala mengganti  untuknya yang lebih baik dari Abu Salamah yaitu Rosulullah Shallallahu  alaihi wa sallam.
 
 [50] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhoriy: 5652 dan Muslim: 2576 dari  Ibnu Abbas radliyallahu anhuma. Kisah tentang seorang wanita berkulit  hitam yang mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam agar beliau  mendoakannya minta disembuhkan dari penyakit ayannya. Namun Nabi  Shallallahu alaihi wa sallam menawarkan untuk mendoakan kesembuhannya  atau ia sabar dan akan mendapatkan surga. Maka wanita itupun memilih  sabar untuk mendapatkan surga, hanya saja ia meminta beliau agar  mendoakannya ketika datang penyakit ayannya ia tidak membuka-buka  pakaiannya. Maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pun mendoakannya.
 
 [51] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2813, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3409 dan Misykah al-Mashobih: 2234.
 
 [52] Shahih Sunan Ibni Majah: 203, 3091, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2845 dan Misykah al-Mashobih: 2493.
 
 [53] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 5031, 5041, 5042, Shahih Sunan Abii Dawud:  1372, Shahiih Sunan at-Turmudziy: 2775, Shahih al-Jami’ ash-Shaghiir:  4399 dan Misykah al-Mashobih: 2472
 
 [54] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2840, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1298 dan Misykah al-Mashobih: 2471.
 
 [55] Mukhtashor  Shahih Muslim: 278, Shahih Sunan Abi Dawud: 688, Shahih Sunan  an-Nasa’iy: 862, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2721 dan Ash-l Shifat sholah  an-Nabiy shallallahu alaihi wa sallam: I/ 248.
 
[56] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2580.
 
0 comments:
Post a Comment