Home » » FANATISME DALAM ISLAM

FANATISME DALAM ISLAM

Written By BOTAK on Friday 6 July 2012 | 11:18


PERLUKAH BER-ASHOBIYAH/ FANATISME GOLONGAN?.

بسم الله الرحمن الرحيم

Di masa sekarang ini, banyak dijumpai beraneka jamaah pengajian dan kelompok kajian agama. Mereka semua mengaku yang paling benar, sesuai dengan ajaran Islam dan berasaskan ahlu sunnah wal jama’ah. Ketika masing-masing mereka menganggap bahwa merekalah yang terbaik dan terbenar, tidak mau menerima kebenaran kelompok lain, menutup mata dari kesalahan kelompoknya sendiri dan menyangka bahwa merekalah yang paling berhak menerangkan berbagai perkara agama, akhirnya jadilah umat ini terfirqoh-firqoh. Lalu tanpa mereka sadari, perilaku dan perbuatan mereka itu telah menyeret mereka kepada kerusakan, perselisihan dan perpecahan. Dalam anggapan mereka, merekalah gudangnya kebenaran sedangkan selain mereka adalah gudang kekeliruan. Akhirnya dari perilaku seperti itu lahirlah fanatisme kelompok (ashobiyyah).
Padahal sikap fanatisme kelompok itu sangat diharamkan oleh Islam, lantaran perbuatan itu merupakan kebiasaan orang kafir/ musyrik dan dapat menimbulkan perselisihan, perpecahan dan permusuhan lalu pada akhirnya akan melemahkan kekuatan kaum muslimin. Sebagaimana dalil-dalil berikut ini,
وَ لاَ تَكُوْنُوْا مِنَ اْلمـُـشْرِكِيْنَ مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَ كَانُوْا شِيَعًا كُـلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ

Dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah (kaum musyrikin), yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. [QS. ar-Ruum/30: 31-32].
وَ أَطِيْعُوْا اللهَ وَ رَسُوْلَهُ وَ لاَ تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَ تَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَ اصْبِرُوْا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ

Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian saling berbantah-bantahan, yang akan menyebabkan kalian lemah dan hilangnya kekuatan kalian dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. [QS. Al-Anfal/ 8: 46].
عن جندب بن عبد الله البجلي رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَدْعُوْ عَصَبِيَّةً أَوْ يَنْصُرُ عَصَبِيَّةً فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ

Dari Jundub bin Abdullah al-Bajaliy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang terbunuh di bawah bendera ummiyyah (kesesatan) yang disebabkan ia mengajak kepada ashobiyah atau dalam rangka menolong ashobiyah, maka matinya adalah mati jahiliyah”. [HR Muslim: 1850, an-Nasa’iy: VII/ 123 dan ath-Thoyalisiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3835, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6442 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 433].
عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم أَنَّهُ قَالَ: مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَ فَارَقَ اْلجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً وَ مَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُوْ إِلىَ عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallalahu alaihi wa sallam bahwasanya Beliau bersabda, “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah lalu ia mati maka matinya tersebut adalah mati jahiliyah. Barangsiapa yang berperang di bawah bendera ummiyyah yang ia marah karena membela golongan (fanatisme golongan) atau mengajak kepada golongan atau menolong golongan lalu ia terbunuh maka matinya tersebut adalah mati jahiliyah”… Dan seterusnya hadits. [HR Muslim: 1848, an-Nasa’iy: VII/ 123, Ibnu Majah: 3948 dan Ahmad: II/ 306, 488. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 1232, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3834, Shahih Sunan Ibni Majah: 3190, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6227, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 983 dan Iqtidlo’ ash-Shirath al-Mustaqim halaman 74].
Itulah larangan dari dakwah atau seruan kepada ashobiyah (fanatik golongan), marah karena membela ashobiyah dan menolong lantaran ashobiyah. Lalu jika ia mati atau terbunuh di bawah bendera kesesatan tersebut maka matinya itu adalah mati jahiliyah, yaitu mati diluar manhaj Islam.
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hafizhohullah (di dalam buku, Majmu’ah ar-Rosa’il at-Taujihat al-Islamiyyah halaman 159), “al-Firqoh an-Najiyah (golongan yang selamat) itu tidak pernah ta’ashshub atau fanatik (kepada kelompok manapun) kecuali kepada firman Allah Subhanahu wa ta'ala dan sabda Rosul-Nya Shallalahu alaihi wa sallam yang ma’shum, yang tiada berkata-kata dari hawa nafsunya. Adapun manusia selainnya kendatipun tinggi derajatnya tentulah ia berdosa, karena sabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam di dalam nash berikut ini,
عن أنس رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: كُلُّ بَنىِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَ خَيْرُ اْلخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

Dari Anas radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, “Semua anak Adam itu berdosa, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah orang yang bertaubat”. [HR Ahmad: III/ 198, at-Turmudziy: 2499, Ibnu Majah: 4251, ad-Darimiy: II/ 303 dan al-Hakim: 7691. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 2029, Shahih Sunan Ibni Majah: 3428, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4515 dan Misykah al-Mashobih: 2341].
Jika demikian, pantaskah manusia selain Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam untuk diikuti dan diteladani segala perkataan dan perbuatannya. Padahal telah nyata dalilnya yang jelas mengenai ketidaksuciannya mereka dari dosa-dosa. Tegasnya, andaikan ada seseorang selain Nabi Shallalahu alaihi wa sallam berkata. Maka tidak akan terjamin mengenai benar atau salahnya, pun demikian perbuatannya. Benar dan salahnya tingkah laku dan ucapan seseorang itu mesti diukur dengan alqur’an dan sunnah. Jika sesuai dengan keduanya maka kebenaran itu landasan berpijaknya dan jika berselisih, batillah segala tingkah laku dan perkataannya.
عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما قَالَ: كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم أُرِيْدُ حِفْظَهُ فَنَهَتْنىِ قُرَيْشٌ وَ قَالُوْا أَ تَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ َتسْمَعُهُ وَ رَسُوْلُ اللهِ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فىِ اْلغَضَبِ وَ الرِّضَا فَأَمْسَكْتُ عَنِ اْلكِتَابِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَأَوْمَأَ بِاُصْبُعِهِ إِلىَ فِيْهِ فَقَالَ: اكْتُبْ فَوَ الَّذِي نَفْسِى بِيَدِهِ مَا َيخْرُجُ مِنْهُ وَ فى رواية: مَا خَرَجَ مِنْهُ و فى رواية: مَا خَرَجَ مِنىِّ إِلاَّ حَقٌّ

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radliyallahu anhuma berkata, “Aku senantiasa mencatat (menulis) segala sesuatu yang aku dengar dari Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam. Aku bertujuan untuk menghafalnya. Lalu orang-orang Quraisy melarangku dan berkata, “Apakah engkau selalu mencatat semua yang engkau dengar (darinya) sedangkan Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam adalah seorang manusia yang berbicara dengan rasa marah dan senang”. Lalu akupun menghentikan dari mencatatnya. Maka aku ceritakan hal tersebut kepada Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam. Lalu Beliau berisyarat dengan jarinya ke mulutnya seraya bersabda, “Catatlah, demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggaman tangan-Nya, tidaklah keluar darinya (di dalam satu riwayat, tidaklah keluar dariku) kecuali kebenaran”. [HR Abu Dawud: 3646, Ahmad: II/ 162, 192, ad-Darimiy: I/ 125 dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 3099, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1196 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1532].
Jika Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam berbicara dan mengerjakan sesuatu pastilah suatu kebenaran, karena Beliau tidak pernah berbicara dan berbuat sesuatu itu dari dasar hawa nafsunya. Dan semua yang diucapkan ataupun yang dikerjakannya itu berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya (lihat QS. An-Najm/ 54: 3-4). Sehingga pantaslah jika kita sebagai umatnya untuk ashobiyah atau fanatik kepadanya. Namun selain Nabi Shallalahu alaihi wa sallam, apakah dijamin setiap perkataan dan perbuatannya itu adalah kebenaran. Apalagi jika ia jauh dari bimbingan alqur’an dan sunnah serta pemahaman para ulama yang meniti jalan bersama Nabi Shallalahu alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallahu anhum?.
Oleh karena itulah, para Imam yang empat rahimahumullah telah mewasiatkan kaum muslimin supaya tidak taklid dan fanatik kepada mereka, namun meletakkan ittiba’ dan fanatik kepada Allah Subhanahu wa ta'ala (alqur’an) dan Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam (hadits-haditsnya yang shahih), di dalam beberapa ucapan mereka berikut ini,
A. al-Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata,

1). Apabila aku berkata satu perkataan yang menyelisihi kitabullah (alqur’an) dan khabar Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam (hadits), maka tinggalkanlah perkataanku. (Shifat Sholat an-Nabiy Shallalahu alaihi wa sallam oleh asy-Syaikh al-Albaniy halaman 48, Fat-h al-Majid halaman 468 dan Majmu’ah Rosa’il at-Taujihat al-Islamiyah oleh asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu halaman 35).

2). Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami selama ia tidak mengetahui dari mana kami telah mengambilnya. (Shifat Sholat an-Nabiy Shallalahu alaihi wa sallam halaman 46 dan ar-Rosa’il as-Salafiyyah oleh al-Imam asy-Syaukaniy halaman 207).

3). Haram bagi seseorang yang tidak mengetahui dalilku untuk berfatwa dengan perkataanku. (Shifat Sholat an-Nabiy Shallalahu alaihi wa sallam halaman 47).

4). Celakalah engkau wahai Ya’kub (yaitu Abu Yusuf). Janganlah engkau selalu mencatat semua yang kamu dengar dariku. Karena aku pada hari ini berpendapat dengan suatu pendapat namun aku akan meninggalkannya esok. Atau aku esoknya berpendapat suatu pendapat lalu lusanya aku meninggalkannya pula. (Shifat Sholat an-Nabiy Shallalahu alaihi wa sallam halaman 47).

5). Apabila hadits itu shahih maka ia adalah madzhab (pendirian)ku. (Shifat Sholat an-Nabiy Shallalahu alaihi wa sallam halaman 46).

B. al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, 

1). Aku ini hanyalah manusia, bisa salah dan bisa juga benar. Oleh sebab itu perhatikanlah pendapatku itu dengan seksama. Maka semua yang sesuai dengan alqur’an dan sunnah maka ambillah. Dan semua yang tidak sesuai dengan alqur’an dan sunnah maka tinggalkanlah. (Shifat Sholat an-Nabiy Shallalahu alaihi wa sallam halaman 48, Majmu’ah Rosa’il at-Taujihat al-Islamiyah halaman 135 dan ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 208, 215).

2). Tidak ada seseorang sesudah Nabi saw yang diambil dan ditinggalkan kecuali Nabi Shallalahu alaihi wa sallam. (Shifat Sholat an-Nabiy Shallalahu alaihi wa sallam halaman 49).

C. al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

1). Apabila kalian mendapatkan di dalam kitabku ada yang menyelisihi sunnah Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam maka hendaklah kalian berkata dengan sunnah Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam dan tinggalkan apa yang telah aku katakan. Di dalam satu riwayat: Maka ikutilah sunnah tersebut dan janganlah kalian berpaling kepada perkataan seseorang. (Shifat Sholat an-Nabiy Shallalahu alaihi wa sallam halaman 26, ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 216, Diwan al-Imam asy-Syafi’iy halaman 57, 64, Mukhtashor ash-Showa’iq al-Mursalah oleh al-Allamah Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah tahqiq Sayyid Ibrahim halaman 519, Fat-h al-Majid halaman 468 dan Taysir al-Aziz al-Hamid halaman 487).

2). Kaum muslimin telah berijmak bahwasanya orang yang telah jelas baginya satu sunnah dari Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya lantaran pendapat seseorang. (Shifat Sholat an-Nabiy Shallalahu alaihi wa sallam halaman 50).

3). Setiap persoalan yang telah shahih hadits tentangnya dari Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam menurut ahli naql (ahli hadits) yang berselisih dengan apa yang kukatakan. Maka aku merujuk kepadanya di masa hidupku dan setelah kematianku. (Shifat Sholat an-Nabiy Shallalahu alaihi wa sallam halaman 51-52, Mukhtashor ash-Showa’iq al-Mursalah halaman 519, dan ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 216).

4). Apabila kalian melihat aku mengatakan suatu perkataan sedangkan telah shahih dari Nabi Shallalahu alaihi wa sallam yang menyelisihinya maka ketahuilah bahwasanya telah hilang akalku. (Shifat Sholat an-Nabiy Shallalahu alaihi wa sallam halaman 52 dan Diwan al-Imam asy-Syafi’iy halaman 64).

5). Semua yang kukatakan sedangkan yang shahih dari Nabi Shallalahu alaihi wa sallam menyelisihi ucapanku maka hadits Nabi Shallalahu alaihi wa sallam adalah yang lebih utama. Janganlah kalian taklid kepadaku. (Shifat Sholat an-Nabiy Shallalahu alaihi wa sallam halaman 52 dan ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 216-217).

6). Semua hadits dari Nabi Shallalahu alaihi wa sallam adalah merupakan ucapanku meskipun kalian tidak mendengarnya dariku. (Shifat Sholat an-Nabiy Shallalahu alaihi wa sallam halaman 52 dan Diwan al-Imam asy-Syafi’iy halaman 63).

D. al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, 

1). Janganlah kalian taklid kepadaku, jangan pula taklid kepada Malik, asy-Syafi’i, al-Awza’iy dan juga ats-Tsauriy. Tetapi ambillah dari arah mana mereka mengambil. (Shifat Sholat an-Nabiy Shallalahu alaihi wa sallam halaman 53, ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 220 dan I’lam al-Muwaqqi’in: II/ 201).

2). Pendapat al-Awza’iy, pendapat Malik dan pendapat Abu Hanifah, semuanya itu hanyalah pendapat. Di sisiku semuanya itu sama. Hujjah itu hanyalah ada pada atsar. (Shifat Sholat an-Nabiy Shallalahu alaihi wa sallam halaman 53).

3). Berkata Abu Dawud, Aku pernah bertanya kepada Imam Ahmad, ”Apakah al-Awza’iy itu pengikut Imam Malik?”. Ia menjawab, ”Janganlah engkau taklid kepada seseorang dari mereka di dalam agamamu. Apa yang datang dari Nabi Shallalahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya maka ambillah”. (Ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 219-220 dan I’lam al-Muwaqqi’in: II/ 201).

4).Sebahagian dari minimnya pemahaman seseorang terhadap agamanya adalah ia taklid kepada orang-orang di dalam agamanya. (Ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 220, Majmu’ at-Tauhid halaman 188, I’lam al-Muwaqqi’in: II/ 201 dan Mukhtashor Jami’ Bayan al-Ilmi halaman 116).

5). Barangsiapa yang menolak hadits Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam maka berarti ia berada di tepi jurang kebinasaan. (Shifat Sholat an-Nabiy Shallalahu alaihi wa sallam halaman 53).

Tiadakah hikmah dan faidah sabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam dan ucapan para imam tersebut bagi segenap umat Islam, khususnya para dai?. Sehingga masih terlihat gejala dan penyakit fanatik golongan ini pada mereka. Karena gejala dan penyakit fanatik golongan ini biasanya timbul dari sikap para dai yang menyeru dan mengajak umat ini kepada kefanatikan suatu golongan tertentu yang mereka anut. Belumkah mereka membaca nash-nash di atas ataukah mereka berpura-pura tidak tahu?. Gejala dan penyakit ashobiyah (fanatik golongan) ini biasanya dilahirkan pula oleh sikap kaum muslimin yang berlebih-lebihan terhadap ustadz, guru ataupun para imam mereka. Sehingga mereka berasumsi bahwa hanya ustadz dan imam mereka sajalah yang benar dan berhak untuk menyampaikan kebenaran. Sedangkan orang selainnya adalah tidak benar dan tidak pantas untuk menyampaikan kebenaran dan jikapun benar itupun harus seidzin dan sepengatahuan ustadz dan imam mereka, walaupun orang yang menyampaikannya itu benar-benar menyampaikan kebenaran dari alqur’an dan hadits yang shahih. Iblis la’natullah alaihi saja yang telah jelas kesesatannya mengatakan, ”Aku adalah termasuk orang-orang yang memberikan nasihat” (QS. al-A’raf/ 7: 21), ketika menggelincirkan nabi Adam Alaihimus Salam dan istrinya dari surga. Apalagi manusia yang merasa benar dan tidak mengetahui kesesatannya tentu dengan penuh keyakinan juga akan mengatakan, ”Aku adalah termasuk orang-orang yang memberikan nasihat dan yang menyampaikan kebenaran”. Takkan ada orang yang tahu akan aib dirinya sendiri jika tidak mengaca kepada cermin. Pun demikian tiada orang yang akan tahu akan kesalahan dan kesesatan dirinya jika ia tidak mau mengaca kepada kitabullah dan sunah Rosul-Nya Shallalahu alaihi wa sallam.

Fanatik atau ashobiyah golongan ini jika dibiarkan mengendap di dalam sanubari seseorang dari kelompok tersebut, maka sikap ini akan menimbulkan kesombongan dan kebanggan kepada kelompoknya tersebut. Dan tak aneh jika ada di antara mereka yang marah sebab membela kelompoknya lantaran ashobiyah, rela mati sebab mempertahankan ashobiyah dan ia akan berkata dengan pebuh kebanggaan kepada selainnya, ”ana khoirum minka” (aku lebih baik darimu) atau ”nahnu khoirum minkum” (kami lebih baik dari kalian). Tidakkah perkataannya itu sama dengan perkataan Iblis la’natullah alaihi ketika ia berkata, “ana khoirum minhu” (aku lebih baik darinya) (QS. Shad/ 38: 76 dan QS. al-A’raf/ 7: 12 ). Padahal Allah Subhanahu wa ta'ala telah melarang seseorang hamba untuk mengatakan bahwa dirinya itulah yang terbaik, yang terpandai dan menganggap dirinya suci atau bersih dari kesalahan-kesalahan. Yakni firman-Nya, ”dan janganlah kalian menganggap diri kalian suci.” (QS. an-Najm/ 53: 32).

عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: يَظْهَرُ اْلإِسْلاَمُ حَتىَّ َتخْتَلِفَ التُّجَّارُ فىِ اْلبَحْرِ وَ حَتىَّ تَخُوْضَ اْلخَيْلُ فىِ سَبِيْلِ اللهِ ُثمَّ يَظْهَرُ قَوْمٌ يَقْرَؤُوْنَ اْلقُرْآنَ يَقُوْلُوْنَ: مَنْ أَقْرَأُ مِنَّا ؟ مَنْ أَعْلَمُ مِنَّا ؟ مَنْ أَفْقَهُ مِنَّا؟ ُثمَّ قَالَ ِلأَصْحَابِهِ: هَلْ فىِ أُوْلَئِكَ مِنْ خَيْرٍ؟ قَالُوْا: َاللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ قَالَ: أُوْلَئِكَ مِنْكُمْ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ وَ أُوْلَئِكَ هُمْ وَقُوْدُ النَّارِ
Dari Umar bin al-Khoththob radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, “Islam itu akan unggul sehingga para pedagang akan berselisih di lautan, dan sehingga akan ada kuda yang berbicara pada jalan Allah. Kemudian akan muncul suatu kaum yang membaca al-qur’an seraya berkata, “Siapakah orang yang paling pandai membaca (alqur’an) dari kami? Siapakah yang paling berilmu dari kami? Siapakah yang lebih mengerti hukum dari kami?”. Kemudian beliau bersabda kepada para shahabatnya, “Apakah pada mereka itu ada kebaikan?”. Mereka menjawab, “Allah dan rosul-Nya-lah lebih mengetahui. Beliau bersabda, “Mereka itu adalah dari golongan kalian dari umat ini dan mereka itu adalah bahan bakarnya neraka”. [HR ath-Thabraniy didalam al-Awsath dan al-Bazzar dengan sanad tiada cacat dengannya. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan, lihat Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 131 dan al-Kaba’ir oleh asy-Syaikh Muhammad at-Tamimiy halaman 65].
Masihkah diragukan lagi berita yang telah dibawa oleh utusan Allah ini, padahal berita tersebut adalah merupakan salah satu dari tanda-tanda kenabian yang akan berlaku dan terjadi di dunia ini. Bahwa akan akan ada di antara umat Islam ini yang membaca alqur’an hanya untuk kebanggaan dan kesombongan belaka. Sehingga ia merasa bahwa dirinyalah yang paling pandai di dalam membaca alqur’an, paling berilmu dan paling mengerti tentang hukum dari selainnya, sedangkan ia adalah merupakan bahan bakarnya neraka Jahannam. Ma’adzallah.
عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: لَيَظْهَرَنَّ اْلإِيْمَانُ حَتىَّ يُرَدُّ اْلكُفْرُ إِلىَ مَوَاطِنِهِ وَ لَتُخَاضَنَّ اْلبِحَارُ بِاْلإِسْلاَمِ وَ لَيَأْتِيَنَّ عَلىَ النَّاسِ زَمَانٌ يَتَعَلَّمُوْنَ فِيْهِ اْلقُرْآنَ يَتَعَلَّمُوْنَهُ وَ يَقْرَؤُوْنَهُ ُثمَّ يَقُوْلُوْنَ: قَدْ قَرَأْنَا وَ عَلِمْنَا فَمَنْ ذَا الَّذِي هُوَ خَيْرٌ مِنَّا ؟ فَهَلْ فىِ أُوْلَئِكَ مِنْ خَيْرٍ ؟ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ هُمْ؟ قَالَ: أُوْلَئِكَ مِنْكُمْ وَ أُوْلَئِكَ هُمْ وَقُوْدُ النَّارِ

Dari Abdullah bin Abbas radliyallah anhuma dari Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “Benar-benar akan tampak jelas keimanan itu, sehingga kekufuran akan dikembalikan ke tempat-tempatnya. Dan sungguh-sungguh akan diperbincangkan lautan itu dengan Islam. Dan benar-benar akan datang suatu masa atas manusia, yang pada masa tersebut mereka akan mempelajari alqur’an, mereka mempelajari dan membacanya, kemudian mereka akan berkata, ”Sungguh-sungguh kami telah membaca dan mengetahui, maka siapakah orang yang lebih baik dari kami? Maka apakah pada mereka itu ada kebaikan?”. Mereka bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Rosulullah?”. Beliau menjawab, “mereka itu adalah termasuk kalian dan mereka itu adalah bahan bakarnya api neraka”. [HR al-Imam ath-Thabraniy di dalam al-Kabiir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: sanad hadits ini hasan Insyaa Allah].
Dengan nash hadits ini belumkah cukup bagi mereka untuk menghentikan diri mereka dari mengagul-agulkan dan mengagung-agungkan diri sendiri dan bahkan menganggap bahwa hanya dirinyalah yang paling pandai dan paling benar. Padahal sebagaimana telah dijelaskan bahwa ukuran benar dan salah serta baik dan buruknya seseorang itu bukan di ukur dari penilaian manusia secara mayoritas. Tetapi yang menjadi barometer penentu bagi seseorang itu apakah berpijak kepada kebenaran ataukah kepada kebatilan dan apakah ia orang baik ataukah seorang yang buruk, itu adalah alqur’an dan sunnah yang telah tsabit dari Nabi Shallalahu alaihi wa sallam. Jika ia sesuai dengan keduanya, maka kepada kebenaran ia berpijak dan ia adalah orang yang shalih. Tetapi apabila ia menyelisihi keduanya maka kepada kebatilanlah ia berpihak dan ia adalah seorang yang thalih (buruk).

Singkatnya, seorang dai itu hanyalah berkewajiban mengajak umat Islam ini agar mereka beribadah dan mengabdi kepada Allah Subhanahu wa ta'ala semata untuk mendapatkan ampunan dan keridloan-Nya, dengan cara mengikuti dan menteladani petunjuk Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam melalui dua nara sumber umat Islam yaitu alqur’an dan hadits-hadits shahih. Di sisi lain, iapun berkewajiban membongkar dan memerangi praktek-praktek bid’ah dan ashobiyah atau fanatik golongan yang terlarang menurut syariat. Lalu menerangkan sejelas-jelasnya kepada umat Islam mengenai bahaya dan akibatnya bagi orang-orang yang mengerjakannya dengan cara mengungkapkan illat (cacat)nya hadits-hadits lemah, palsu atau yang tidak ada asalnya yang dijadikan sandaran amalan orang-orang yang mengerjakannya, dan mengenai hal ini mesti merujuk kepada para ahli hadits. Atau meletakkan kembali kedudukan dari hadits-hadits shahih yang disalah-artikan atau diselewengkan dari pemahaman yang sebenarnya oleh sebahagian dari mereka untuk kepentingan pribadi atau golongannya. Hal tersebut biasanya disebabkan karena mereka lebih mendahulukan dan mengutamakan pendapatnya sendiri dan juga para pendahulu mereka yang sepaham, dengan menomorduakan bahkan meninggalkan penjelasan para ulama salafus shalih dari kalangan para shahabat, tabi’in dan atba’ut tabi’in yang mereka itu telah diabadikan oleh Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits terdahulu sebagai tiga generasi yang terbaik dari umat ini.
Tindakan lain yang mesti dilakukan oleh seorang dai adalah mengungkapkan dan memunculkan kembali hadits-hadits shahih yang disembunyikan dan dikubur rapat-rapat oleh mereka atau mungkin karena mereka memang tidak tahu dan buta terhadap hadits-hadits shahih tersebut dan mereka tidak mau tahu untuk mempelajarinya, sehingga sering dijumpai pada kebanyakan umat Islam ini bahkan para ustadz dan ustadzahnya yang tidak memahami arti dari hadits shahih, hasan, dlo’if, maudlu dan munkar. Juga mereka tidak mengerti tentang pengertian bid’ah, ashobiyah, syirik, tauhid rububiyyah, uluhiyyah dan asma dan sifat, nifak, hijrah dan lain sebagainya secara jelas dan benar. Maka terjadilah ketentuan Allah Azza wa Jalla bahwa Islam itu akan kembali asing sebagaimana telah dikhabarkan oleh Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam di dalam beberapa riwayat hadits berikut ini,
عن أبى هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَ سَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبىَ ِللْغُرَبَاءِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, “Islam itu awalnya adalah asing dan akan kembali asing sebagaimana mulanya maka beruntunglah bagi orang-orang yang terasing”. [HR Muslim: 145 dan 146 dari Ibnu Umar, Ahmad: I/ 398 dari Ibnu Mas’ud, at-Turmudziy: 2629 dari Ibnu Mas’ud, 2630 dari Auf, Ibnu Majah: 3986 dari Abu Hurairah, 3987 dari Anas, 3988 dari dari Ibnu Mas’ud dan ad-Darimiy: II/ 311-312 dari Ibnu Mas’ud. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 72, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2120, Shahih Sunan Ibni Majah: 3221, 3222, 3223, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1580, 1581, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1273 dan Misykah al-Mashobih: 159, 170].
Di dalam satu riwayat, Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah orang-orang yang terasing itu wahai Rosulullah?”. Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang shalih ditengah-tengah rusaknya manusia”. [Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hadits ini dikeluarkan oleh Abu Amr ad-Daniy dari Ibnu Mas’ud dengan sanad yang shahih, lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1273].
Berkata al-Allamah Ibnu Qoyyim al-Jauziyah rahimahullah, “Kaum mukminin itu minoritas di antara manusia, para ulama itu juga minoritas di antara kaum mukminin dan mereka juga minoritas di antara para ulama. Maka dari sebab itu, waspadalah terhadap tipuan ini yang telah menipu kaum bodoh. Karena mereka mengatakan, seandainya mereka di atas kebenaran maka tidak mungkin mereka itu menjadi kelompok yang tersedikit di antara manusia”, sedangkan manusia menyelisihi mereka. (Miftah Dar as-Sa’adah halaman 176).
Dari sebab itu, wahai saudara-saudaraku tercinta marilah kita mempelajari dan mengenal Islam yang telah menjadi agama kita dengan benar secara berkesinambungan. Dengan berpijak kepada alqur’an dan hadits-hadits Nabi Shallalahu alaihi wa sallam yang shahih melalui pemahaman para ulama salafush shalih (para shahabat, tabi’in dan Atba’ at-Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka). Jauhilah sifat dan sikap fanatik (ashobiyah) dan taklid kepada seseorang ataupun kelompok manapun karena hal tersebut akan memicu kepada perselisihan, pertikaian dan permusuhan di antara kita. Maka rugilah kita di dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam.
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. TAUBAT SAMBAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger